Contoh lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”.
Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, namun dimatikan sedemikian rupa untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan yang disebut sebagai ”kebudayaan nasional Indonesia”.
Dalam konteks ini proses penyeragaman kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang berkembang di masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli dan kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut. Seperti misalnya dengan penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa untuk semua daerah di Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa sehingga menyebabkan hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan daerah.
Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang terjadi diatas tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan nasional, dimana ini juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional ketika itu.
Keberadaan kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah negara modern dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Akan tetapi dalam perjalanannya, pemerintah kemudian memperkuat batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran pemerintah dihadapan warganya.
Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan adalah gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-kebudayaan local yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran, dimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana menyikapi perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan,1999).