Oleh | ingot simangunsong
KAMU tidak akan terjatuh karena bongkahan batu besar. Tetapi, kerikil kecil itulah yang akan menjerembabkanmu, hingga tersungkur dan terpuruk.
Wakil Ketua DPR RI itu – Azis Syamsudin – yang ditengarai memiliki kekayaan mencapai Rp100 miliar, akhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kerikil yang harganya Rp1,5 miliar.
Letak kerikil itu pun, sesungguhnya jauh sekali jaraknya dengan meja kerja Azis Syamsudin di Senayan sana. Kota kecil, Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara, yang jangan-jangan belum pernah disinggahinya.
Kita tidak sedang atau akan membicarakan, kenapa dan bagaimana Azis Syamsudin masuk dalam lingkaran kasus korupsi Wali Kota Tanjungbalai. Kita tidak sedang atau akan membahas, kenapa dan bagaimana orang yang memiliki pendidikan S3 (doktoral) dengan status wakil rakyat yang terhormat, masih tergiur dengan sahwat gelimangan harta. Apalagi yang kurang, Azis Syamsudin? Dialah yang tahu dan menjadi urusan pribadinya.
TIDAK MENJADI SIA-SIA
Krikil sudah berperan demikian baiknya, menjerembabkan siapa pun yang menyimpang dari tatanan, peraturan atau etika mau pun kelaziman hidup. Bahkan mengantarkan pribadi-pribadi menyalah masuk dalam perangkap hukum tindak pidana korupsi.
Sepatutnyalah, peranan krikil itu tidak menjadi sia-sia. Harus dibarengi dengan ketegasan sikap para penegak hukum dalam memutuskan ganjaran yang benar-benar memberikan efek jera.
Sejak zaman orde lama (Soekarno), zaman orde baru (Soeharto, 32 tahun), dan era reformasi (BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, Soesilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo), lembaga pemberantasan korupsi, gonta-ganti nama. Tokh, pemberantasan korupsi tidak menunjukkan adanya kekuatan yang menekan keras sehingga efek jera berbuah dengan menggembirakan.
Para koruptor – khususnya dari kalangan politisi yang berada di Senayan, yang melegalisasi segala macam undang-undang – justru asyik kemusuk bermain-main di ranah kekorupsian.
KELUARLAH DARI WILAYAH SETENGAH HATI
Dalam lomba karya tulis yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi, melalui karya jurnalistik meraih juara pertama, diingatkan, bahwa semua komponen yang benar-benar ingin memberantas korupsi di negeri ini, harus keluarlah dari wilayah setengah hati.
Korupsi tidak dapat diberantas dengan setengah hati, harus ada ketegahan hati, karena pelaku tindak pidana korupsi pun melakukannya dengan ketegahan hati dalam memperkaya diri sendiri, golongan atau kelompoknya.
Para koruptor itu harus menjalani hukuman berat. Kalau pun kita merasa tidak sampai hati menjatuhkan hukuman mati, seminimal-minimalnya, dijatuhi hukuman seumur hidup. Kemudian, dilakukan pembuktian terbalik, dan penyitaan harta “jarahan” dari hasil korupsi.
Kenapa demikian? Agar efek jera memperlihatkan hasil. Agar kerja krikil – si batu kecil – benar-benar bermanfaat saat menjerembabkan si koruptor.
Jika tidak tegas menyikapi tindak pidana korupsi, tidak perlu heran, akan bermunculan lagi, koruptor-koruptor lainnya. Kemudian, rumah besar KPK pun, tidak akan steril dari petugas-petugas “lapuk di terik matahari”.
Mari, bebaskan pemberantasan korupsi dari wilayah setengah hati, agar negeri ini, INDONESIA lebih maju melaju untuk rakyat sejahtera.
@Penulis, wakil pemimpin redaksi simadanews.com, mentor Gerakan Daulat Desa (GDD) Sumatera Utara, Bidang Humas dan Sosial DPP Dulur Ganjar Pranowo (DGP)