SimadaNews.com-Masyarakat Sihaporas Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan pertemuan dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Pastor Aegidius Eko Aldilanto OCarm di kantor KWI, kawasan Cikini, Jakarta, Senin 7 Oktober 2019.
Masyarakat yang tergabung dalam pengurus Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengadu dan memohon bantuan untuk membebaskan dua pengurusnya, yakni Thomson Ambarita selaku bendahara Lamtoras dan Jonny Ambarita (Sekretaris) yang ditangkap Polres Simalungun atas bentrokan warga versus pekerja PT TPL di Buntu Pangaturan, Sihaporas Aek Batu, 16 September lalu.
Tampak Ketua Umum Lamtoras Judin Ambarita alias Ompu Sampe, bersama Wakil Ketua Umum Lamtoras Mangitua Ambarita (Ompu Morris) dan Ketua Panitia Pengembalian Tanah Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Eddy Hasryanto Ambarita, serta beberapa orang perantau asal Sihaporas.
Masyarakat turut didampingi Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) dan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Indonesia (PP GMKI).
Hadir Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat PMKRI Tomson S Silalahi, Aturma Hutapea (Lembaga PERS Pengurus Pusat PMKRI) dan Halasan Simare-mare (Lembaga Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat PMKRI), serta Ketua Pengurus Pusat GMKI Bidang Pergerakan dan Pelayanan EF Pranoto.
Masyarakat membahas tentang tanah adat yang dikuasai perusahaan. Romo Eko sapaan Pastor Aegidius Eko Aldilanto mengaku banyak masyarakat yang tidak berdaya menghadapi perusahaan besar saat memperjuangkan tanah leluhur.
Romo Eko juga menyinggung sering terjadi perpecahan di tengah komunitas sendiri. Lazimnya ada masyarakat yang ingin sungguh-sungguh memperjuangkan tanah ulayat dan adat-istiadat. Tetapi ada saja dari dari yang pro-kapitalis, dengan berbagai alasan.
“Kita tidak bicara benar atau salah, tapi kita melawan kapitalis. Apalagi terkait uang. Uang perlu, tetapi jangan gara-gara uang, Tuhan pun dibohongi. Jangan gara-gara uang, kau korbankan saudaramu,” ujar Romo Eko.
Romo Eko menegaskan, hukum adat harus dipertahankan, walaupun perusahaan bergerak. Sebab, secara sosial-budaya, keberadaan masyarakat adat adalah pondasi keberagaman nusantara, sehingga wajib dijaga dan dilestarikan.
“Saya siap mensupport. Ini bukan masalah benar atau salah, ini menghadapi kapitalis. Kami akan berkoordinasi dengan KPKC di Medan Romo Hilarius Kemit,” ujar Romo Eko.
Dia mengaku segera berkoordinasi dengan Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation/Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC-OFM Indonesia) Pastor Hilarius Kemit OFMCap.
“Kebetulan 8 Oktober, kami akan bertemu dengan Regio Sumatera di Bangka Belitung, dan kami akan bahas. Saya akan bawa berkas pengaduan Lamtoras, Red) untuk kami bicarakan,” ujar Pastor Eko.
“Kita harus sama-sama melawan kapitalisme jahat, melalui berbagai cara termasuk membangun kekompakan masyarakat, sampai membangun lembaga keuangan mikro (LKM). Banyak terjadi kegagalan masyarakat adat karena kurang kekompakan, karena uang. Jangan sampai terjadi,” tambahnya.
Sementara, Pengurus Pusat PMKRI Halasan Simaremare menyatakan mengecam aksi pemukulan oleh karyawan TPL terhadap anak kecil di bawah umur sebagai tindakan di luar batas dan tidak beradab.
Saat terjadi bentrokan pekerja PT TPL kontra masyarakat adat pada 16 September silam, seorang anak berusia 3 tahun bernama Mario Ambarita menjadi korban pemukulan. Bagian belakang leher atau tengkuknya memerah, akibat kena pukulan yang diduga dilakukan pekerja PT TPL Bahara Subuea.
“Kami Mendesak polisi segera mengambil langkah tegas terhadap oknum yang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut, karena telah memicu amarah masyarakat hingga mengakibatkabn bentrok antar-masyarakat dan karyawan TPL sehingga mengakibatkan kedua belah pihak terluka,” ujar Halasan.
Halasan menambahkan, PMKRI juga meminta Kapolres Simalungun untuk objektif dalam melihat persoalan ini serta bertindak secara profesional, serta tidak menyebabkan situasi mencekam bagi masyarakat desa.
“Mendesak Kapolres Simalungun untuk segera membebaskan dua orang masyarakat Sihaporas karena pengkapan keduanya dan penahanan tidak melalui prosedur yang tepat,” kata Halasan.
Ketua PP GMKI Bidang Pergerakan dan Pelayanan EF Pranoto, mengatakan ketika terjadi konflik soal tanah adat, pemerintah harus hadir untuk melindungi sumber kehidupan dan juga identitas rakyatnya. Jangan justru masyarakat yang memperjuangkan tanah adatnya dikriminalisasi oleh aparat kepolisian.
“Oleh karena itu kami meminta kepada aparat kepolisian untuk segera membebaskan dua orang petani Sihaporas, yang saat ini dikurung. Dan kepada presiden untuk serius mengurus soal tanah adat ini karena banyak mafia-mafia tanah yang memanfaatkan program reforma agraria,” ujar Efpran.
“Sebenarnya kita juga menyayangkan Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan pidatonya terutama pasca-kemengan pilpres 2019, Jokowi sama sekali tidak menyentil soal penyelesaian konflik agraria,” tambah aktivis GMKI asal Bengkulu ini.
Sebelumnya, Kepala Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL) Norma Patty Handini Hutajulu membenarkan terjadi bentrok antara karyawan dan personel Sekuriti PT Toba Pulp Lestari (TPL) kontra warga Masyarakat Desa Sihaporas di Compt B 553 PT TPL pada Senin, 16 September 2019.
“Benar bahwa warga Masyarakat Sihaporas sedang melakukan penanaman jagung di dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari,” tutur Norma Patty Handini Hutajulu.
Norma mengatakan, kejadian itu telah dilaporkan ke Polres Simalungun. Sementara itu, Bahara Sibuea yang menjadi korban, mendapat perawatan di RSVI Kota Pematangsiantar.
Menurut keterangan warga, saat itu, Bahara hendak memukul Marudut Ambarita. Namun Marudut mengelak, sehingga terkenalah tengkuk Mario, anaknya. Konflik pun pecah mengakibatkan saling baku pukul. Konflik ini akibat saling klaim lahan seluas kurang lebih 2 ribu hektare. (snc)
Editor: Hermanto Sipayung