MEMAHAMI dunia berarti mengamati dunia apa adanya. Mengamati dunia apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahannya. Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti.
Herakleitos, fulsuf Yunani Kuno berkata bahwa kita tak akan pernah menginjakkan kaki di sungai yang sama.
Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. Setiap sepuluh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan manusia sebelumnya hanyalah namanya.
Memahami kenyataan di dalam perubahannya berarti juga memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fisika yang bekerja, ketika kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fisika yang menggerakan meteor di ruang angkasa nan jauh disana.
Perbedaan hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.
Kotoran bagi satu mahluk adalah makanan bagi mahluk lain. Apa yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keterhubungan adalah bentuk dari alam semesta kita.
Tidak ada yang suci dan tidak suci, karena semuanya saling membutuhkan satu sama lain, begitupun juga antara KJA (Keramba Jaring Apung), manusia, danau dan isinya.
Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan adalah apa adanya, just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata “kenyataan” juga sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai “kenyataan”.
Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan (dalam hal ini keberadaan KJA).
Maka, kini yang dibutuhkan adalah memahami “harmoni” semsta. Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.
Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka menganggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan, hidup dalam delusi.
Orang yang hidup dalam delusi berarti hidup dalam penderitaan. Mereka melekat dan memegang erat hal-hal yang sejatinya terus berubah. Mereka mengira, bahwa pikiran dan konsep-konsep mereka adalah kenyataan. Mereka juga takut pada kematian dan usia tua.
Orang yang menderita akan cenderung membuat orang lain menderita. Penderitaan kolektif akan mendorong konflik antar kelompok. Bahkan mimpi bersama untuk Wonderfull Indonesia tidak akan pernah tercapai, jika orang masih terjebak di dalam delusinya masing-masing, dengan orasi “Tutup KJA!”
Menutup refleksi ini, seharusnya kita mulai dengan bertanya, bagaimana kita bisa melepaskan konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup mengalir mengikuti perubahan semesta atas keberadaan KJA? Sembari mencari solusi daripada hidup dalam delusi.(*)
Haranggaol 15 Maret 2019
Erwin Arianto Saragih MTh, adalah Pendeta GKPS Resort Haranggaol