BARU-baru ini, Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mengungkapkan pernyataan mengejutkan: Sumatera Utara kini menempati peringkat pertama dalam hal jumlah pengguna narkoba, tidak hanya di tingkat provinsi, tetapi di seluruh Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam acara pisah sambut serah terima jabatan di Kantor Gubernur Sumut yang turut dihadiri seluruh unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Pernyataan ini tentu sangat mengkhawatirkan, tidak hanya bagi masa depan generasi muda, tetapi juga bagi keamanan dan kenyamanan lingkungan tempat tinggal masyarakat. Sebab, penyalahgunaan narkoba kerap melahirkan kelompok kriminal yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah “rayap besi”—sebutan bagi pecandu sabu yang nekat mencuri besi atau barang berharga lainnya demi membeli narkoba.
Ironisnya, fenomena “rayap besi” tidak hanya marak di Kota Medan, tetapi juga telah menjalar ke berbagai kabupaten di Sumut, salah satunya Kabupaten Labuhanbatu.
Kabupaten yang mekar sejak 24 Juni 2008 ini cukup dikenal dalam hal maraknya peredaran narkoba, mulai dari tokoh lokal legendaris seperti Man Batak hingga DK, bandar besar yang kini telah ditangkap dan ditahan oleh aparat penegak hukum.
Data menunjukkan bahwa penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas) didominasi oleh para pengguna narkoba, bukan para bandar besar. Bahkan, para “rayap besi” ini kerap kali kembali menjadi penghuni Lapas untuk kasus yang sama: pencurian (untuk membeli narkoba) atau pemakaian narkoba, karena tidak cukup bukti untuk dijerat sebagai bandar.
Ini menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana efektivitas pembinaan yang dilakukan oleh Lapas?
Secara ideal, Lapas merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang tak hanya berfungsi sebagai tempat menjalani hukuman, tetapi juga sebagai institusi pembinaan.
Pembinaan ini mencakup aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial—melalui pemberian pelatihan kerja, pendidikan, bimbingan kerohanian, dan kegiatan produktif lainnya.
Tujuannya adalah agar narapidana dapat kembali ke masyarakat dengan kesiapan untuk berkontribusi secara positif dan tanpa stigma.
Namun, dalam kenyataannya, kasus residivis narkoba terus berulang. Penghuni Lapas datang dan pergi, dan datang kembali—terutama mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Kontrasnya, mantan narapidana kasus korupsi sangat jarang kembali ke Lapas. Bukan karena berhasil dibina, tetapi karena mereka sudah “bingung” harus mengkorupsi apa lagi, atau karena sistem yang membuat mereka merasa aman dari jerat hukum.
Sebaliknya, bagi para pecandu narkoba, karier kriminalnya bisa dimulai dari mencuri untuk membeli sabu, lalu menjadi pemakai yang tak mampu direhabilitasi, hingga kelak naik kelas menjadi bandar.
Sebuah siklus yang terus berulang, selama Lapas belum mampu menghadirkan perubahan nyata dalam pembinaan warganya.
Penulis: SigondrongDalamDiam
Pemerhati, pelaku, dan penggiat seni di Kabupaten Labuhanbatu