“Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.”
Kalimat di atas adalah agenda pertama Nawacita yang disusun oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Dan kemudian kukenang kembali jeritan para korban KM Sinar Bangun. Kuingat lagi tangisan keluarga korban yang kudengar beberapa hari lalu di Tigaras. Mereka masih menanti dengan sabar dan lelah, ingin melihat jasad sanak keluarganya untuk terakhirnya.
Saya baca lagi agenda Nawacita di atas.
Apakah negara sudah kembali hadir untuk segenap bangsa? Mengapa pencarian korban KM Sinar Bangun diselesaikan secepat ini? Sementara beberapa tahun lalu pencarian korban pesawat Airasia yang terjatuh bisa berlangsung sampai berbulan-bulan?
Saya menyadari dan mengakui bahwa posisi kapal saat ini berada di dasar danau di kedalaman 450 meter. Selat Karimata dimana pesawat Airasia tenggelam memiliki kedalaman berkisar 35-50 meter. Jika dibandingkan dengan kedalaman laut, posisi tenggelam KM Sinar Bangun berada di kategori laut dalam. Penyelam yang paling hebat di dunia pun hanya mampu menyelam di kedalaman 50-100 meter. Lebih dari itu, hanya bisa menggunakan media robot.
Saya dan teman-teman melihat secara langsung, tim Basarnas di lapangan sudah berupaya maksimal. Begitu juga Polri dan pasukan elit TNI (Kopaska, Yontaifib, dan lainnya), yang ikut dalam Tim Terpadu Pencarian dan Pertolongan Korban KM Sinar Bangun. Namun kekuatan manusia ada batasnya, dan posisi yang diketahui dari kapal dan para korban berada di luar ambang batas kemampuan manusia.
Dalam hal ini, tentu kita harus mempertimbangkan untuk menggunakan alat yang mutakhir. Alat yang mungkin sama dengan yang digunakan untuk bisa mengangkat artefak Kapal Titanic dari kedalaman 3000an meter. Sudah ada alatnya, selanjutnya adalah political will. Apakah negara hadir bagi segenap rakyatnya?.
Jika institusi tidak punya alat yang sesuai dengan kebutuhan tersebut, ataupun kita kekurangan dana untuk membawa alat tersebut, mengapa itu tidak kemudian disampaikan dengan jujur kepada masyarakat Indonesia? Bangsa kita yang dibangun dalam kultur masyarakat gotong royong dengan nilai-nilai persaudaraan (brotherhood society) pasti akan tergerak.
Kita bersama-sama akan kumpulkan dana untuk dapat membawa alat itu ke Danau Toba. Ada ratusan keluarga korban yang menangis hingga saat ini. Tangisan mereka adalah tangisan kita juga. Jika memang pemerintah kita kekurangan dana untuk dapat membawa alat berteknologi tinggi ke Danau Toba untuk mengangkat kapal dan para korban dari dasar danau, kenapa tidak kita segenap rakyat Indonesia urunan bersama, mengumpulkan dana untuk membawa alat itu ke Danau Toba.
Jika ternyata negara tidak bisa hadir melindungi segenap rakyatnya, mungkin harus kita sebagai rakyat yang hadir untuk melindungi satu sama lain. (*)