Catatan | ingot simangunsong
RAKYAT pinggiran atau kalangan bawah, punya gaya berpikir tersendiri. Beda dengan kalangan atas atau elit, mau pun para kalangan menengah.
Kalangan atas atau elit — kemudian ikut meramai-ramaikan dari kalangan menengah — sibuk kemusuk membicarakan, membahas dan menetapkan siapa calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara rakyat pinggiran atau kalangan bawah — sebagian masih bertahan sebagai golput dan sebagian lainnya tetap memilih — lebih fokus membicarakan tentang bagaimana harga-harga sembilan bahan pokok dapat distabilkan, daya beli tinggi dan gampang mendapatkan kebutuhan hidup.
Rakyat pinggiran atau kalangan bawah, tidak begitu tertarik membicarakan seberapa banyak infrastruktur jalan tol yang sudah dan akan dibangun. Karena jalan tol, tokh menjadi fasilitas yang mempermudah akses para kapitalis, para konglomerat dan sebagian rakyat kalangan menengah, untuk dapat mencapai tujuannya.
Tokh, rakyat pinggiran atau kalangan bawah, tidak akan pernah memanfaatkan fasilitas tersebut. Kalau pun mereka memiliki sepedamotor, juga tidak diberi ijin melintas di jalan tol.
Rakyat pinggiran atau kalangan bawah, tetap pada komitmen mereka, tidak ingin masuk dalam pusaran permainan tingkat tinggi para politisi kalangan atas atau elit. Karena, pemahaman rakyat pinggiran atau kalangan bawah, bahwa mereka yang berada di papan atas atau elit, berbicara atas nama kepentingan, yakni bagi-bagi kekuasaan.
Para elit — menurut kacamata rakyat pinggiran — senantiasa menciptakan suasana berisik, untuk menaikkan posisi tawar.
Yang merasa memiliki kekuatan penuh — punya massa, maupun materi — menjadi demikian bebasnya melakukan apa pun. Bicaranya lantam, dan tidak sungkan-sungkan mengemas sebuah gerakan dengan menggunakan atribut keagamaan mau pun simbol-simbol apa pun itu.
Yang penting, bagaimana pesan atau sahwat politiknya kesampaian. Bahkan, tidak peduli apakah harus ada yang terluka atau terkoyak nadi kehidupannya.
Dan, para elit pun dengan entengnya mengatakan, bahwa sebuah “perjuangan” memang harus ada korban. Yang dijadikan korban dan senantiasa dibenturkan, ya kalangan menengah dan kalangan bawah, yang gampang terpancing masuk ke pusaran politik kotor tersebut.
Sejatinya, rakyat pinggiran — mau dikatakan tidak paham politik — tidak berharap muluk-muluk. Kalau pun para elit ingin berebut kekuasaan, ya rebutlah dengan santun, beradab dan berakhlak. Ya, sesuai dengan adat ketimuran yang diajarkan para orangtua, tanpa memandang apakah kita dari kalangan elit, kalangan menengah atau kalangan pinggiran.
Pemikiran ala rakyat pinggiran — tidak rumit-rumit juga — cukup pada amanah Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Bahwa tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah membawa rakyat menuju kemakmuran dan sejahtera.
Pemikiran ala rakyat pinggiran — tidak banyak permintaan — cukup satu saja, yakni “Bagaimana Negara memiliki kekuatan penuh untuk menertibkan pergerakan-pergerakan yang dapat mengganggu ketidak-stabil-an bernegara dan berbangsa. Agar cita-cita menjadikan NKRI yang damai dan sejahtera, benar-benar dapat diwujud-nyatakan.”
Pemikiran ala rakyat pinggiran — kelak sampai pada kesimpulan — bahwa Negara tidak lebih terbagi dalam dua kotak.
Kotak pertama, dimana para elit atau kalangan atas dan kalangan menengah berkumpul. Mereka asyik kemusuk menimang-nimang kursi kekuasaan. Jika masih bisa dikuasai secara total, mereka akan kuasai. Jika tidak memungkinkan, mereka akan berkoalisi. Yang pada akhirnya, mereka bagi-bagi kekuasaan, dan yang tidak kebagian akan tampil sebagai kaum oposisi.
Kotak kedua, adalah kumpulan rakyat pinggiran, yang berkubang dalam area ketidaksanggupan, ketidakmampuan berdaya-upaya, dan masuk di pusaran kemiskinan.
Kotak kedua ini pun, menjelmah menjadi kotak-kotak yang mengitari kotak pertama. Pengharapan mereka yang berada di kotak-kotak itu, disengaja atau tidak disengaja, para elit atau kalangan atas maupun menengah, di saat berada dalam pertikaian politik, akan melemparkan sebagian dari apa yang mereka miliki, keluar dari dalam kotak pertama.
Rakyat pinggiran atau kalangan bawah — lebih baik memilih diam, tidak mau terlibat di hiruk-pikuk napsu politik — dan lebih baik memanfaatkan lahan yang ada utuk bertani.
Tanam singkong, jagung, pelihara ternak, dan tanaman lainnya. Hasil panen, kalau berlebih ya dijual untuk nyambung kehidupan, biaya pendidikan anak-anak atau lainnya.
Rakyat pinggiran atau kalangan bawah, hanya bisa mendesah nafas dan berbisik pelan dan berbicara pada diri sendiri, bahwa “di dalam bangsa ini, telah lahir anak-anak yang ingin memaksakan kehendak dan menjajah bangsanya sendiri.”
Suara rakyat, suara Tuhan. Masih benar dan masih adakah?
(Penulis, jurnalis simadanews.com, mentor Gerakan Daulat Desa (GDD) Provinsi Sumatera Utara)