NARKOTIKA merupakan pembunuh generasi bersifat massif, karena merusak mental dan kesehatan pengguna-nya secara berkepanjangan. Peredaran Narkotika di Indonesia masih sangat potensial karena banyak hal, diantara nya faktor edukasi akan bahaya narkotika dan penanganan masalah hukum yang berkenaan dengan Narkotika.
Hampir tak dapat dipungkiri, masalah hukum berkenaan Narkotika di negeri sangat beragam baik dari modus operandi hingga para pihak yang terlibat.
Pengertian Permufakatan jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-undang No.35 Tahun 2009, memiliki pengertian yang sama dengan Pasal 88 KUH-Pidana. Hanya saja dalam Pasal 1 angka 17 sedikit tambahan yaitu adanya frasa “perbuatan” dan frasa “dengan maksud”.
Penambahan frasa “dengan maksud”, dirasa terlalu berlebihan, karena adanya kesepakatan tentu dilakukan dengan maksud (kesengajaan) karena tidak mungkin ada kesepakatan tanpa ada kesengajaan. Namun penambahan frasa “dengan maksud” sangat penting untuk memperjelas dan membedakan unsur pemufakatan jahat dengan pasal percobaan.
Permufakatan jahat (samenspanning) merupakan suatu perencanaan disertai kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan, dapat dikatakan tindak pidana yang disepakati, dipersiapkan atau direncanakan tersebut belum terjadi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana), percobaan dan permufakatan jahat hanya dihukum lebih ringan dari hukuman pokok.
Pengertian Permufakatan Jahat dalam arti autentik dapat dilihat dalam Pasal 88 KUHPidana, yakni “Permufakatan itu terjadi, segera setelah dua orang atau lebih memperoleh kesepakatan untuk melakukan”.
Namun berbeda dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UUN). Pada saat ini yang menghukum sama dengan hukuman pokok pada delik selesai. Dikarenakan kejahatan narkotika dipandang telah menjadi kejahatan serius.
Dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum di Indonesia menerapkan Pasal 132 ayat (1) UUN, untuk menjerat pelaku tindak pidana selesai yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Hal ini tidak sesuai dengan pengertian permufakatan jahat yang autentik. Karena permufakatan jahat yang didefinisikan Pasal 1 angka 18 UUN dianggap sebagai Lex Specialist dari KUHPidana.
Adapun Pasal 1 angka 18 UUN sebagai berikut: “Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika,”
Secara sederhana dalam penanganan masalah hukum Narkotika, khusus nya sebanyak tujuh belas (17) pasal berkenaan permufakatan jahat, maka unsure penting nya adalah, para pihak (sedikitnya 2 orang) , adanya kesepakatan (minimal ada nya “kata sepakat”) dan maksud/tujuan niat melakukan tindak pidana Narkotika.
Jika salah satu unsure tersebut tidak dipenuhi maka potensi penerapan pasal tersebut bisa keliru ataupun lebih mengarah kepada junto pasal 55 atau 56 KUH-Pidana.
Hal ini sangat penting agar penanganan masalah hukum Narkotika dilakukan dengan cermat sehingga tidak menciderai rasa keadilan demi suatu perkara dapat naik dan disidangkan (Hal ini terjadi dalam putusan Kasasi di Mahkamah Agung No 1531.K/Pid.Sus/2010)
Mari bersama sama,kita sadar bahaya laten Narkotika dan pada saat yang sama kita dukung penegakan hukum yang cermat dan adil dan bukan sekedar perkara naik disidangkan dan dijatuhi vonis hukuman tanpa kecermatan yang baik. Kiranya Bangsa Indonesia memiliki kesadaran dan kebudayaan hukum yang baik guna menghadapi perang terhadap narkotika. (*)
Andre Yosua M adalah dosen/ahli Hukum Pidana pada Universitas Mahasaraswati Denpasar.