SimadaNews.com-Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 mengenai Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, atau yang dikenal sebagai Perpres Publisher Rights, menimbulkan kontroversi dalam pandangan beberapa pihak yang menganggap filosofi di balik penyusunannya tidak tepat.
Kritik terhadap Perpres ini tidak hanya berkisar pada substansi, tetapi juga pada metodologi yang digunakan dalam penyusunannya, serta kesimpulan yang dihasilkan.
Sejumlah pemangku kepentingan menilai bahwa implementasi Perpres ini berpotensi membawa dampak negatif bagi industri pers di Indonesia, bahkan memperkuat paradigma kontrol pers ala rezim Orde Baru dengan mengaburkan batas antara regulasi perusahaan (code of interprese) dan substansi jurnalisme (code publication), mirip dengan masa keberlakuan SIUPP.
Wartawan Senior dan Praktisi Pers, Wina Armada Sukardi, menegaskan bahwa terbitnya Perpres ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 dan Undang-Undang Hak Cipta, serta mengancam kemerdekaan pers.
Pernyataan ini disampaikannya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) di Provinsi Riau.
Diskusi tersebut turut dihadiri oleh sejumlah tokoh dan perwakilan industri pers, serta narasumber yang kompeten dalam bidangnya.
Salah satu poin yang disoroti adalah ketidakjelasan dalam judul Perpres itu sendiri yang dianggap kontradiktif dan kontraproduktif.
Menurut Wina, tanggung jawab untuk mendukung jurnalisme berkualitas seharusnya menjadi fokus bagi redaksi atau perusahaan pers, bukan perusahaan platform digital yang tidak memiliki wartawan atau divisi redaksi.
Selain itu, definisi jurnalisme berkualitas juga menjadi perdebatan, dengan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas peningkatan mutu jurnalisme.
Perpres juga dinilai menimbulkan kebingungan dengan mencampur adukkan antara urusan perusahaan pers dan kewajiban mendukung jurnalisme berkualitas.
Kritik juga ditujukan pada ketidakjelasan mengenai tanggung jawab perusahaan platform digital dalam mendukung jurnalisme berkualitas, serta implikasi hukumnya terhadap kemerdekaan pers.
Pada tingkat pelaksanaan, Perpres ini menuai kekhawatiran terkait pengaturan ekosistem bisnis pemberitaan, yang dianggap dapat memberikan keleluasaan kepada perusahaan platform digital untuk campur tangan dalam konten berita, yang seharusnya menjadi domain perusahaan pers.
Selain itu, terdapat ketidakjelasan dalam penentuan kepemilikan konten berita secara adil dan transparan, serta peran serta perusahaan platform digital dalam menentukan kualitas jurnalisme.
Kritik juga disampaikan terhadap komite yang dibentuk dalam Perpres ini, yang dianggap dapat mengurangi independensi pers dalam mengatur dirinya sendiri.
Sejumlah pihak juga menyampaikan keberatannya terhadap ketentuan mengenai penyelesaian sengketa, yang dianggap memberikan kekuasaan lebih kepada pemerintah dalam menentukan nasib perusahaan pers.
Selain itu, struktur dan sumber dana untuk komite juga menjadi sorotan, dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat mengurangi independensi pers.
Dalam kesimpulannya, Perpres Publisher Rights dinilai lebih banyak merugikan perusahaan pers daripada memberikan manfaat.
Oleh karena itu, sejumlah pihak menyerukan agar Perpres ini dicabut atau dilakukan judial review ke Mahkamah Agung jika pemerintah bersikeras untuk melaksanakannya. (snc)