JADI teringat peribahasa yang mengatakan “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, mungkin peribahasa ini tepat digunakan untuk mengartikan penjelasan Pak Jokowi yang mengungkapkan alasannya menyebut “Politik Sontoloyo”.
Politik Sontoloyo diungkapkan Jokowi saat Peresmian Pembukaan Pertemuan Pimpinan Gereja dan Rektor/Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Rabu 24 Oktober 2018, hal itu diungkapkan dengan alasan bahwa setelah Indonesia merdeka masalah Kebhinnekaan sudah selesai, para founding father sudah selesai, maka diibaratkan itu sebagai mendapat nilai A yang membuat negara lain terkagum-kagum.
Nilai A adalah nilai yang sempurna, tetapi itu dirusak oleh proses kontestasi politik, baik pilbup, pilwalkot, pilgub, maupun pilpres yang berlangsung setiap 5 tahun. Mengapa kontestasi itu disebut merusak?, karena cara-cara politik yang digunakan tidak beradab, tidak beretika, tidak bertata krama Indonesia, politik kotor, fitnah dan adu domba hanya untuk merebut kursi kekuasaan, paling tidak begitulah menurut pandangan Pak Jokowi.
Kalau kita mencermati Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 yang lalu, dimana isu ras dan agama di kembangkan yang membuat luka di hati anak bangsa dan menimbulkan perpecahan, maka pandangan pak Jokowi dapat di terima nalar.
Seharusnya kontestasi politik itu menjadi pesta rakyat, kepada rakyat di suguhkan program, prestasi, rekam jejak dan keunggulan dari masing-masing calon, disampaikan dengan pilihan bahasa yang baik, simpatik dengan berbagai methode yang sifatnya menghibur, sehingga rakyat sulit untuk menentukan pilihan, karena semua baik.
Kita tahu bahwa calon yang diajukan dalam kontestasi politik pastilah putra putri terbaik yang di miliki oleh bangsa ini, baik dilihat dari intelektual, kenegarawanan, etika, sopan santun dan komitmen untuk mempersatukan bangsa ini, sehingga sangat tidak bisa di terima oleh nalar atau akal sehat kalau masih ada calon dan tim suksesnya berbicara atau melakukan tindakan yang kurang pas, alias tidak beretika dan berbudaya.
Buya Syafii Marif menyebutnya sebagai Demokrasi Tuna-Adab. Sedangkan Presiden Jokowi sendiri menyebutnya sebagai Demokrasi Kebablasan.
Contoh Manuver Politik Sontoloyo
Tengoklah seperti misalnya :
● Menyebar berita yang belum di ketahui kebenaran berita itu.
● Masih membawa-bawa massa dalam menghadapi sesuatu, apalagi disertai ancaman.
● Menjelek-jelekkan calon lainnya dengan Hoax, Hujat dan Fitnah.
● Membawa-bawa hal sensitif yaitu isu agama yang dapat memecah belah bangsa.
● Mengatakan anti asing, tetapi membanggakan negara asing, pemimpin asing, disisi lain menjelekkan pemimpinnya sendiri.
● Apalagi kalau membandingkan tempe dengan kartu ATM, bukan kelas pemimpin.
● Hoax Ratna Muka Bonyok Dipukuli, yang disinyalir kuat bertujuan politis merusak Citra Presiden.
Saat ini Ratna Sarumpaet sendiri sudah menjadi Tersangka, setelah sebelumnya mencoba pergi keluar negeri ( Chili) namun berhasil ditangkap polisi di bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Banyak lagi hal lainnya yang tidak pantas di sebutkan atau dilakukan oleh putra putri terbaik bangsa ini, karena semua mata tertuju kepada mereka.
Bila Bangsa ini Terpecah, Bagaimana Mungkin Kita Bisa Maju?
Percayalah bahwa walaupun rakyat diam, sesungguhnya mereka sudah dapat menilai dengan baik kualitas calon dari cara-cara komunikasinya.
Rakyat menginginkan rasa aman, jangan tidak ada perpecahan, bangsa ini sudah baik dan sudah rukun, jangan di kotak-kotak kan lagi, jangan di pecah belah lagi dengan isu yang sensitif, resikonya terlalu besar, siapapun pemenangnya, apakah akan bahagia menerima kemenangan itu diatas perpecahan bangsa ini?, kalau setiap kontestasi terjadi perpecahan, kapan bangsa ini akan maju ?.(*)
Penulis adalah Sekretaris Jendral Gerakan Daulat Desa (@GDD)