BEBERAPA hari belakangan ini banyak cerita yang terjadi di negeri yang kita cinta ini. Sangat sering terjadi isu ketika isu yang satu sedang kita perbincangkan. Dan ini tidak lepas dari peran media yang menyiarkannya.
Dan yang paling sering di negeri ini isu yang sangat tajam dapat membuat kita lupa akan apa yang sedang terjadi, yaitu dengan mengangkat permasalahan “Isu Toleransi” sebagai isu nasional.
Biarlah kita tidak melupakan akan apa yang terjadi di negara kita, kepada rakyat Indonesia yang sedang kelaparan, mengalami penindasan, merasakan apa rasa dimarjinalkan, dan kita yang menyandang gelar Mahasiswa, apakah kita masih dapat merasakan rasa nyaman ketika melihat semua keadaan carut-marutnya suatu Sistem Konsitusi di Negara ini, dengan keadaan kita saat ini yang dapat menikmati segala sesuatunya. Sudah seharunya kita meneteskan air mata dan memberontak dengan semua keadaan ini.
Jika sebelumnya Undang-undang Ormas disahkan yang membatasi hak-hak kita untuk berserikat disahkan, kembali lagi kita di suguhkan dengan suatu sistem yang dengan adanya revisi KUHP tentang penghinaan presiden, dan Undang-undang MD3 DPR yang semakin membungkam kita.
Hingga pada saatnya nanti kita akan dibungkam dan tak dapat lagi dapat berteriak untuk menyampaikan kegelisahan yang menindas kita oleh kebijakan yang salah dari para penguasa di negeri ini, dan kita akan memasuki Jaman Otoriter, dimana menangisi kesusahan kita sendiripun kita akan di hukum.
Berikut beberapa point-point pada UU MD3 yang sangat merusak nilai-nilai Demokarasi di Negara Indonesia yang akan membuka nalar kritis kita:
Undang-undang MD3 DPR Revisi Pasal 73 ayat 3 “Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah tidak mau hadir memenuhi panggilan setelah 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.”
Ayat 4. Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Polri.
Ayat 6. Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Polri dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari.
Pasal 122 huruf K, menyebutkan, “MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Pasal 224 ayat 1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena penyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Pasal 245 Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehoramatan Dewan (MKD).
Dari sini kita dapat melihat bahwa Wakil Rakyat (DPR) kita akan semakin dilindungi hukum (imunitas tampa batas) ketika lembaga ini menjadi lembaga yang ratingnya nomor satu paling tidak dapat dipercayai lagi, yang seyogyanya kita harapkan ialah undang-undang yang lebih memperketat pengawasan kepada lembaga yang katanya mewakili aspirasi rakyat Indonesia di kursi empuk DPR, yang sekarang jika kita rasakan “Legislatif rasa Yudikatif”.
Ini akan menjadi refleksi bagi kita semua, dan yang menjadi kegelisahan yang harus segera kita sikapi Mahasiswa Indonesia, segenap Rakyat Indonesia “Tolak UU MD3 Revisi”.
Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang bebas memberikan aspiranya, jika kita hanya diam dan takut maka saya akan memetik kata-kata dari Wiji Thukul “Jika kau menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan”. Merdeka!!! (*)
Penulis adaah Ketua GMKI Siantar-Simalungun