PERNAHKAH mendengar pepatah: ‘rumput tetangga tampak lebih hijau daripada rumput sendiri’? Pepatah ini kira-kira memiliki arti, kita menilai apa yang dimiliki orang lain selalu lebih baik daripada milik kita sendiri. Atau, apa yang dimiliki orang lain, terlihat lebih indah atau lebih baik dari apa yang kita miliki.
Pepatah ini sangat tepat untuk menggambarkan sikap dan perilaku berbangsa kita selama ini. Kita mengidamkan negara seperti Amarika Serikat sebagai kiblat demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu.
Kita mengagumi Rusia, China, dan Korea Utara sebagai negara dengan kepatuhan yang tinggi serta menghilangkan kelas sosial warga negaranya. Kita mengagungkan Arab sebagai bangsa yang paling saleh dan beriman.
Kita melihat banyak orang mengidamkan negara-negara Barat dengan bersikap dan berperilaku kebarat-baratan. Sementara sebagian masyarakat kita, mengagungkan bangsa Arab dengan meniru gaya bicara dan cara berbusananya.
Apakah betul itu semua adalah negeri impian? Apakah memang demikian realitas yang terjadi di negara-negara itu seperti yang kita bayangkan? Mengapa pola pikir dan pandangan hidup kita lebih berkiblat ke negara-negara itu? Mengapa kita kurang bisa melihat betapa Indonesia dengan Pancasila-nya merupakan negeri yang ideal bagi kita?
Terjebak dalam Prasangka
PEMANDANGAN alam memang tampak lebih indah jika dilihat dari kejauhan. Gunung tampak menjulang indah dengan gradasi warna yang memesona. Pandangan dari jauh itu telah menyembunyikan realitas yang sesungguhnya. Dari dekat kita akan melihat ada batu terjal, tebing yang curam, dan ganasnya alam.
Ungkapan Jawa ‘sawang sinawang’ barangkali juga tepat untuk menjelaskan, bahwa rumput tetangga belum tentu indah seperti yang kita bayangkan. Ungkapan itu artinya, kita cenderung melihat kelebihan dan kehebatan orang lain. Kita tidak mau melihat kelebihan dan mengembangkan potensi yang kita miliki sendiri. Seolah kita lebih sulit mengenali dan menghargai kelebihan diri sendiri daripada mengenali dan menghargai kelebihan orang lain.
Anggapan bahwa tata kehidupan negeri lain lebih baik dari peri kehidupan negeri sendiri adalah sebuah fatamorgana, untuk tidak menyebutnya sebagai penyakit sosial akut. Barangkali kita memang sebagai bangsa yang kurang bersyukur dan selalu berprasangka negatif atas perjuangan dan apa yang telah kita capai hingga hari ini. Atau mungkin kita hanya sekadar kurang percaya diri, rendah diri, dan bermental inlander warisan penjajahan panjang bangsa Barat di masa lalu.
Kita telah terjebak dalam prasangka, persepsi, dan ukuran “ideologi” negara lain. Demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, ditakar dengan definisi dan ukuran Amerika Serikat. Kemajuan dan peradaban, ditera dengan indikator negara-negara Barat. Kemakmuran dan kebahagiaan suatu bangsa, dilihat dengan pandangan dan skala negara lain. Lebih parah lagi, kita beranggapan, beriman kepada Tuhan pun harus dilakukan dengan cara meniru budaya bangsa lain.
Tidak Seindah Harapan
LIBERALISME adalah paham suatu negara yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu. Sedangkan kapitalisme adalah paham yang memberikan kebebasan pemilik modal untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Negara hanya berfungsi tak lebih sebagai “penjaga malam” atas peran swasta dan warga negaranya.
Beberapa kebebasan dan hak individu yang diusung oleh paham liberal antara lain hak untuk berekspresi, hak untuk menyampaikan pendapat, hak memiliki barang pribadi, hak untuk memilih pasangan hidup, hak untuk beribadah, hak untuk beragama, hak untuk tidak beragama, hak untuk memiliki keturunan, hak untuk melakukan aborsi, hak untuk hidup, sampai hak untuk mati (euthanasia). Bagi kaum liberal, kebebasan individu atas hak-hak pribadinya adalah unsur yang terpenting dalam membangun masyarakat yang ideal.
Paham liberal-kapitalisme yang dianut Amerika Serikat kenyataannya memiliki sejumlah kelemahan atau kekurangan. Tidak adanya persaingan yang sempurna menyebabkan terjadinya persaingan monopolisik. Akibatnya, distribusi kekayaan tidak adil, kekayaan dan kekuasaan hanya dikuasai oleh segelintir orang. Kegiatan ekonomi lebih berorientasi pada uang, akibatnya orientasi masyarakat menjadi materialistik.
Sementara itu, kebebasan yang tanpa batas menyebabkan si Kuat menguasai semua dan merampas semua. Kebebasan menjadi sarana mayoritas untuk menindas yang lemah. Orang kaya bebas membeli senjata dan menyewa bodyguard sebanyak-banyaknya untuk melindungi harta dan nyawanya. Sedangkan orang miskin harus bertahan hidup dengan cara menggelandang jalanan.
Saat ini Amerika Serikat tengah menjadi sorotan dunia atas kasus diskriminasi dan rasisme terhadap orang kulit hitam, Indian, dan kulit berwarna. Ternyata, kemiskinan, kesenjangan sosial, diskriminasi, dan rasisme disembunyikan di bawah karpet liberalisme dan demokrasi.
Bagaimana dengan negara-negara sosialis-komunis? Sosialisme adalah paham suatu negara yang lebih mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Dengan mengedepankan kesamaan serta persamaan, paham ini hendak mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara bersama.
Di negara-negara sosialis-komunis, pemerintah mengambil alih segala bentuk kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, tidak ada sektor swasta, tidak ada pasar, tidak ada perdagangan, dan tidak ada pengusaha. Segala bentuk kebutuhan masyarakat ditanggung oleh negara secara terpusat.
Bagi para pendamba tatanan sosial tanpa kelas, negeri sosialis-komunis seperti Rusia, China, dan Korea Utara adalah kiblatnya. Namun nyatanya, banyak warga negaranya yang menderita, tidak memiliki kebebasan, kreativitas individu tidak diakui, serta rakyat diperlakukan seperti robot dengan kepatuhan yang tinggi kepada penguasa.
Bagaimana dengan negara-negara fundamentalisme agama? Fundamentalisme adalah paham suatu negara yang menggunakan keyakinan agama tertentu sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Paham ini ingin mengembalikan agama dan kitab sucinya sebagai dasar negara. Negara yang masih menggunakan paham fundamentalisme agama antara lain Israel dan beberapa negara Arab.
Sebagian masyarakat kita sangat mengagungkan semua yang berbau Arab dan Timur Tengah. Mereka barangkali beranggapan, semua yang berbau Arab adalah sikap dan perilaku orang beriman yang sangat saleh. Cara berbicara, berpakaian, berkesenian, dan jenis makanan khas bangsa Arab dan Timur Tengah diadopsi mentah-mentah. Semua itu dipandang lebih bergengsi, serta sebagai simbol sikap orang yang lebih beriman, alim, dan saleh.
Kita baru tersadar setelah membaca berita bagaimana nasib tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sana. Bagaimana kekejaman dan berbagai kekerasan yang harus dialami oleh TKI dan TKW kita di sana.
Sementara itu, tidak sedikit masyarakat kita yang mendambakan negara berlandaskan Khilafah. Mereka menganggap Khilafah adalah solusi atas semua masalah untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang ideal. Mereka menganggap Pancasila dan sistem demokrasi sebagai penyimpangan dari jalan agama. Namun sayang, paham itu justru tidak laku di negeri asalnya sendiri. Negeri ISIS yang dibangun di atas dasar Khilafah sangat jauh dari idaman. Setiap hari yang terjadi adalah pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, dan perampokan. Masyarakat hidup dalam rasa takut, ancaman, dan teror.
Menghidupkan Api Pancasila
MASIH mengidamkan paham dan negeri lain di luar Pancasila dan Indonesia? Dalam praktiknya, ternyata paham dan keindahan negeri-negeri idaman itu jauh dari bayangan ideal masyarakat. Oleh karena itu, mengapa kita tidak mengagumi, mensyukuri, dan menghidupi Indonesia dengan api Pancasila-nya?
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila terbukti berhasil mempersatukan berbagai perbedaan, sekaligus menerangi dan menuntun dinamika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita. Perbedaan suku bangsa, daerah, budaya, adat istiadat, agama, dan pandangan hidup dapat diwadahi dan dijamin keberadaannya di Indonesia oleh rumusan Pancasila yang menyatukan.
Sila-sila Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa yang ada dan tumbuh di Indonesia itu, juga terbukti sakti menghadapi berbagai konflik sosial dan perbedaan pandangan politik tajam yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.
Kita perlu menyalakan kembali api Pancasila yang telah lama padam oleh jebakan prasangka serta persepsi negara lain. Pancasila harus dipahami sebagai ideologi terbuka.
Sebagai ideologi terbuka, selain sebagai falsafah dan dasar negara, Pancasila juga harus dimaknai sebagai sumber inspirasi tindakan dan parameter evaluatif dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang terus berubah.
Sebagai ideologi terbuka, memungkinkan Pancasila menyerap dan mengembangkan diri dengan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai baru dari luar yang tidak bertentangan dengan Pancasila. (*)
Penulis: Primus Supriono, penulis dan aktivis demokrasi