Habib Ali Assegaf : Rekomendasi Cerdas
Apresiasi yang sama atas rekomendasi Nahdatul Ulama, juga disampaikan pengurus Lembaga Pemikiran Islam Bung Soekarno (LPI-BK) Habib Ali Assegaf.
Menurut Habib Ali, kafir itu ada tiga. Satu positif, kedua tanpa nilai, ketiga negatif. Kafir sendiri artinya tertutup.
Disebut positif karena ada perbuatan baik orang mengkafirinya (menutupinya) dari keburukannya. Kafir yang buruk adalah yg menutup diri dari ilmu pengetahuan dan kebenaran.
“Kata kafir bukan masalah, tetapi makna nilai kata kafir di masyarakat oleh orang awam saat ini memang memprihatinkan,” sebutnya.
Habib Ali menilai, ketika wacana istilah kafir dihapus bagi nonmuslim sesuai rekomendasi Nahdatul Ulama dan diganti dengan sebutan muwathin atau saudara sebangsa, itu merupakan wacana atau pemikiran cerdas yang patut diapresiasi.
“Jadi jelas bahwa pada hakikatnya, seluruh masyarakat merupakan saudara se-Bangsa satu tanah air dan satu Negara Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, pada musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 di Kota Banjar, Jawa Barat, yang berakhir Jumat (1/2) menghasilkan sejumlah keputusan penting.
Salah satunya, kesepakatan untuk tidak menggunakan sebutan kafir kepada warga Indonesia nonmuslim. Sebagai gantinya, para kiai memilih kata muwathinun atau warga negara.
Kesepakatan itu diambil dalam bahtsul masail maudluiyah yang dipimpin KH Abdul Muqsith Ghozali. Kiai Muqsith menjelaskan, NU ingin menekankan semangat untuk tidak gampang mengafirkan siapa pun. Sebab, kata kafir mengandung sisi negatif yang berupa kekerasan teologis.
“Jadi kita sepakat untuk tidak menyebut WNI nonmuslim sebagai kafir harbi (orang kafir yang patut diperangi). Kata muwathinun dipilih sebagai pengganti karena menunjukkan kesetaraan status muslim dan nonmuslim dalam sebuah negara. Dengan begitu, status mereka setara dengan warga negara lain,” kata pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu. (manto/snc)