TIDAK terasa sudah satu tahun masa kepemimpinan Hefriansyah SE. MM, sebagai Wali Kota Pematangsiantar. Hefriansyah seharusnya patut bersyukur karena dia menjadi Wali Kota Pematangsiantar bagian dari peristiwa sejarah yang menarik, karena meninggalnya Wali Kota Terpilih Hulman Sitorus SE. Dengan demikian Hefriansyah sebagai Wakil Wali Kota Terpilih pun menjadi Walikota.
Ketika Hefriansyah baru dilantik menjadi Wali Kota Defenitip pada 22 Februari 2017, banyak harapan yang muncul dari kalangan masyarakat. Ada anggapan Hefriansyah merupakan sosok orang muda yang masih energik. Hefriansyah minim hutang politik.
Dalam tulisan ini, penulis memapaparkan bagaimana kondisi Kota Pematangsiantar setelah satu tahun kepemimpinan Hefriansyah, semakin jelas menuju Kota Mati.
Pendidikan: Selama satu tahun Hefriansyah tidak memiliki konsep peningkatan kualitas pendidikan di Kota Pematangsiantar. Ini terlihat karena masih banyak sekolah-sekolah yang melakukan praktek-praktek pemungutan liar dan bahkan masih ada juga gara-gara tidak membayar uang komite sekolah, siswa tersebut tidak diperbolehkan mengikuti ujian.
Sering kita mendengar Siantar sebagai Kota Pendidikan, namun Hefriansyah tidak memiliki konsep pendidikan yang bagaimana yang akan diterapkan di kota ini. Kondisi kualitas kampus atau perguruan tinggi pun, semakin jauh dari harapan. Masih banyak juga dosen atau sistem di kampus yang tidak memerdekaan.
Kebudayaan: Hefriansyah juga tidak punya konsep tentang kemajuan budaya di Kota Siantar. Ini terlihat dari tidak ada kebijakan tentang kebudayaan yang di keluarkan Hefriansyah selama satu tahun. Padahal banyak peninggalan sejarah yang dapat dikelola.
Pergunjingan tentang patung Raja Sangnaualuh juga tidak menuai kejelasan. Museum yang tidak dipelihara dengan baik sehingga bukan pelestarian budaya yang terlihat, melainkan pelenyapan Kebudayaan.
Pariwisata: Kota Siantar bukan bagian dari Kota tujuan wisata. Ini karena minimnya tempat wisata di Kota ini. Tapi sudah satu tahun, Hefriansyah juga tidak memiliki konsep untuk meningkatkan sektor pariwisata.
Pendapatan disektor wisata seperti Taman Hewan Kota Pematangsiantar pun semakin hari semakin sunyi, dan wisata lainnya pun sudah tidak diminati oleh warga Pematangsiantar dan bahkan apa lagi warga luar Siantar, hal ini dikarenakan pihak pemerintah kota tidak serius melakukan peningkatan sektor pariwisata.
Perdagangan: Perdagangan yang paling laris di Kota Pematangsiantar sepertinya perdagangan Narkoba, hal ini terlihat dari banyaknya jumlah pengedar, pengguna Narkoba yang ditangkap di Kota Pematangsiantar, namun jika kita melihat bagaimana jumlah pembeli di setiap pasar di Kota Siantar semakin hari semakin sepi, dapat dikatakan lebih banyak penjual dari pada pembeli.
Skandal dugaan korupsi di setiap lembaga bentukan pemerintah daerah yang mengurusi pasar (PD-PAUS, PD Pasar Horas Jaya) juga seakan di “nina bobokan” tanpa penindakan.
Kesehatan: Sektor Kesehatan di Kota Pematangsiantar masih tidak seperti yang diharapkan. Belum ditemukan adanya kebijakan Hefriansyah untuk menata sektor kesehatan, pengelolaaan puskesmas juga masih kurang optimal.
Seharusnya Hefriansyah dapat membuat kebijakan tentang penataan Puskesmas. Cntoh seperti jam buka puskesmaa dan sebagainya. Dan tidak jarang kita masih menemukan di Rumah Sakit Kota Pematangsiantar masih banyak pasien yang di telantarkan karena kekurangan biaya.
Dari Kelima aspek itu. Maka dapat dikatakan, “Satu Tahun Kepemimpinan Hefriansyah Siantar Menuju Kota Mati”. Kota Mati yang dimaksud adalah kota yang tidak memiliki terobosan, seperti tidak memiliki kepala daerah.
Seperti yang dikatakan oleh seorang ahli dari Amerika yang bernama Theodore Hesburg. “Hal yang paling mendasar dari kepemimpinan adalah bahwa Anda harus memiliki sebuah visi”, namun hal tersebut tidak ada pada Hefriansyah. Sehingga harapan dan kepercayaan masyarakat dikecewakan Hefriansyah.
Kita berharap di waktu yang masih tersisa ini Hefriansyah dapat bertindak cepat untuk mencegah supaya Siantar tidak menjadi Kota Mati.
MITOS yang paling berbahaya tentang kepemimpinan adalah kepercayaan bahwa pemimpin itu dilahirkan karena ada faktor keturunan dalam kepemimpinan.
Mitos ini menekankan bahwa ada orang yang memang memiliki karisma untuk menjadi pemimpin, sedangkan orang lain tidak. Itu tidak masuk akal. Yang benar justru sebaliknya. Pemimpin dibentuk, bukan dilahirkan. (*)
Penulis:Mahasiswa Pascasarja Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta Jurusan Kajian Konflik dan Perdamaian-Megister of Art in Peace Studi