BELUM lama ini diberitakan seorang dosen di USU pingsan setelah dipertontonkan di depan publik oleh pihak Polda Sumut, karena status yang ditulisnya yang bilang bahwa teror bom Surabaya dan aksi serangan teror lainnya pengalihan isu.
Beberapa hari lalu, sebuah video dan berita menjadi viral. Seorang remaja di bawah umur telah menghina, mengancam, dan menantang aparat negara dan pemimpin tertinggi negara dalam videonya. Dikatakan oleh polisi bahwa dia hanya ‘lucu-lucuan’ dan tidak berniat menebar kebencian.
Kedua berita ini menjadi pro-kontra. Bagaimana percakapan netizen dan media terkait video ancaman ini? Mari kita lihat.
Dalam dua hari, terdapat 4K percakapan di Twitter dan 126 mention di media online tentang video penghinaan dan ancaman kepada presiden. Percakaapan ini baru mulai viral, sehingga dalam 1-2 hari kedepan masih akan jadi topik hangat.
Dari grafik SNA, ternyata hanya ada satu cluster besar (cluster oposisi) yang aktif membahas ini. Cluster satunya yang biasanya muncul belum tampak di sini, hanya MakLambeTurah saja.
Mak Lambe Turah berada di luar cluster oposisi, dan dia mendapat sangat banyak retweet, atas polling yang dibuatnya. Apakah netijen setuju TS dilepas begitu saja atau tidak. Hingga tulisan ini dibuat, 1,2 K tidak setuju dan 111 setuju dilepas.
Dari status-status yang paling banyak diresponse netizen dalam cluster besar ini, kebanyakan mereka membandingkan penjelasan dan perlakukan polisi terhadap anak remaja ini dengan orang-orang sebelumnya.
Misal pada bulan Januari 2018, seorang anak SMK dipenjara 1,5 tahun karena menghina presiden di facebook. Melalui perbandingan yang mereka buat, mereka ingin menunjukkan adanya perbedaan perlakukan di depan penegak hukum.
“TIDAK SUKA” ATAU “LUCU-LUCUAN”
Penjelasan polisi yang dianggap publik cenderung membela anak remaja ini, dengan menyatakan bahwa anak ini hanya “lucu-lucuan” saja, telah menjadi perhatian besar. Jika alasan sekedar lucu-lucuan bisa membuat anak itu lepas dari hukum, apakah alasan sekedar “tidak suka” presiden juga bisa melepaskan ibu dosen itu dari kasusnya?
Sengaja, tidak sengaja, suka, tidak suka, lucu-lucuan, atau apapun apakah bisa jadi alasan sebuah hukum akan diterapkan atau tidak? Kira-kira itu yang jadi polemik saat ini. Mengingat begitu banyak contoh yang diajukan netijen tentang berita-berita sebelumnya hukum tetap ditegakkan tak peduli alasan terhukum, karena secara materiil ada bukti yang bisa di bawa ke pengadilan.
Di balik “noise” ini, sebenarnya apa sinyal yang ingin disampaikan publik kepada penegak hukum? Mudah sekali menangkapnya. Yaitu: mereka ingin “Equality Before The Law”.
Jika ibu dosen itu ditangkap, dipertontonkan, dan proses, maka hal yang sama harus dilakukan pada anak remaja yang telah menghina dan mengancam presiden ini. Jika banyak orang yg kemudian dipenjara karena ujaran kebencian, maka biarkan anak ini diproses oleh hukum dan dibuktikan di muka hukum bahwa dia boleh bebas, atau harus dihukum.
Menurut saya, meredam noise itu mudah sekali. Yaitu: tegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak perlu public relation (PR) khusus. Karena “Keadilan yang Tegak” itu sendiri adalah PR yang paling kuat pesannya kepada rakyat. (*)
Penulis adalah Inisiator dan Ketua Komunitas Masyarakat Informatika (KoMIT) Indonesia