SimadaNews.com-Festival Paragat untuk pertama kali digelar di Parapat. Festival yang diselenggarakan oleh Sanggar Seni Dolok Sipiak asuhan Korri Panjaitan bekerjasama dengan Hinca Panjaitan berjalan dengan lancar dan diapresiasi oleh para paragat.
Festival yang melibatkan 350 orang paragat dari Kabupaten Simalungun dan 100 orang paragat dari Kabupaten Dairi. Festival ini digelar di Pagoda Open Stage Parapat, Sabtu (6/4 ).
Festival diawali dengan pembukaan yang ditandai dengan pemukulan gonrdang oleh Camat Girsang Sipangan Bolon Boas Manik, Anggota DPR RI Hinca Panjaitan beserta isteri, Bangkit Saut Purba dan Anggota DPRD Simalungun Mansur Purba.
Festival maragat ini juga selain memperlombakan proses pembuatan tuak, turut diperlombakan tambul (makanan khas pendamping tuak).
Hinca Panjaitan mengatakan ke depan, festival serupa akan dijadikan agenda tahunan sebagai bentuk penghargaan sekaligus untuk mengangkat derajat paragat.
Hal senada juga disampaikan Mansur Purba kepada SimadaNews. Dia menegaskan, tujuan festival maragat ini diadakan untuk mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan paragat.
” Paragat itu sebenarnya telah berjasa melestarikan budaya batak yakni maragat untuk menghasilkan minuman khas batak berupa tuak. Kegiatan ini kita adakan untuk mengangkat derajat paragat sehingga nilai tuak hasil agatan mereka bisa lebih tinggi dari harga rata rata yang sekarang ini mereka dapatkan. Intinya, kita berusaha membantu mensejahterakan paragat sehingga mereka tetap setia menjadikan pekerjaan maragat ini sebagai pekerjaan sehari harinya dan mereka harus bangga menjadi seorang paragat,” tutue Mansur.
Jasohman Purba, warga Panombeian Panei sebagai peserta pertama sebelum mempraktekkan proses maragat tuak terlebih dahulu memperkenalkan peralatan yang lazim digunakan saat maragat.
Jasohman menceritakan sekaligus memprakrekkan dimana sebelum mengayun lengan aren, terlebih dahulu paragat menyanyikan lagu yang bertujuan untuk merayu dan memohon pohon aren yang diyakini sebagai jelmaan seorang putri yang banyak berjasa bagi manusia, agar berkenan mengeluarkan airnya dalam jumlah yang banyak baik siang maupun malam hari.
Peserta lainnya, Sopar Sagala mengaku sudah maragat selama 37 tahun, bahkan menyekolahkan kedelapan anaknya dan menghidupi keluarga besarnya dari hasil maragat.
“Terlebih dahulu dibersihkan batang aren di dekat tangan aren, baru dibalbal (dipukul dan digoyang)selama tujuh kali dengan durasi waktu sekali seminggu. Jadi proses mulai membuka tuak sampai bisa di agat butuh waktu kurang lebih dua bulan,” ujar Sopar.
Dalam proses ritual, beberapa orang paragat mengaku memperlakukan pohon aren seperti seorang perempuan atau isterinya. Dimana sebelum airnya keluar, paragat kerap mengelus elus lengan pohon aren sambil membujuknya lewat nyanyian atau umpasa agar mengeluarkan banyak air nira siang dan malam.
Para peserta yang masing masing diwakili dua orang menceritakan kisah terjadinya pohon aren dan mepraktekkan proses panjang maragat. Termasuk mengisahkan mitos pohon aren yang merupakan jelmaan seorang putri.
Semua peserta mengisahkan betapa berat perjuangan seorang paragat mulai dari awal hingga bisa menghasilkan nira manis dan tuak (permentasi air nira dicampur kulit kayu berupa raru) yang hampir sabam hari dinikmati oleh masyarakat luas.
Saat ini tuak telah menjadi minuman yang umum diminum oleh masyarakat Batak dan terus berkembang, terbukti dengan semakin banyaknya lapo tuak yang tumbuh tidak hanya di pedesaan bahkan di perkotaan.
Adapun perlengkapan yang lazim digunakan seorang paragat sehari hari antara lain, Tuhil (sejenis pahat untuk mengiris tangan aren yang sudah pendek), Hadingan (tempat penampungan tuak di atas pohon aren),
Pangogos (pisau untuk memotong tangan tuak), Balbal (kayu untuk memukul batang aren), Sigei (tangga untuk memanjat aren biasanya terbuat dari bambu). (ana/snc)