JASA ojek on-line tak lagi sulit ditemukan dimanapun kita berada, termasuk di Kota Pematangsiantar. Sebuah industri yang marak di zaman now ini tak dipungkiri telah merambah ke mana-mana seperti jaring laba-laba.
Kalau beberapa tahun lalu kita mesti ke mulut gang kalau mau memakai jasa ojek, sekarang tidak lagi. Tinggal ambil Smartphone, order dan tak lama kemudian sang ojek sudah tiba di depan mata siap mengantar ke tujuan.
Seiring perkembangan zaman, pihak penyedia jasa ojek on-line juga melayani jasa order belanjaan ke Supermarket, swalayan bahkan obat-obat ke apotik. Jasa antar jemput barang juga tersedia. Sehingga bagi banyak orang ojek on-line adalah jawaban dari kesibukan dan keterbatasan waktu. Demi alasan praktis dan simple. Ditambah lagi cara pembayarannya yang bisa melalui point, otomatis menambah nilai kepraktisan tersebut kan?
Saat ini di kota Pematangsiantar saja tercatat kurang lebih tiga brand penyedia jasa ojek on-line. Sebut saja, GoJek, Grab dan ANTARIN. Yang terakhir mulai jarang kita temukan. Entah karena produk lokal atau apa, ANTARIN yang merupakan pionir di Pematangsiantar terlihat seperti kalah bersaing. Padahal kalau disuruh memilih mungkin orang Siantar akan memilih menggunakan ojek on-line produk daerah dari pada produk luar.
Semakin banyak orang yang tertarik menggunakan ojek on-line membuat perusahaan penyedia jasa tersebut menambah jumlah personil drivernya. Setiap hari kita pasti bisa menemukan begitu banyak driver yang berseliweran di jalan-jalan kota. Yang paling sering di sekitaran Taman Bunga.
Manurut informasi dari beberapa orang driver yang pernah saya order menyebutkan ada kurang lebih 2 ribu driver berjaket dan berhelm hijau yang terdaftar di perusahaan. Sungguh jumlah yang fantastis untuk kota kecil seperti Siantar.
Sayang maraknya jumlah driver berbanding terbalik dengan kualitas pelayanan mereka terhadap konsumen. Demi mengejar bonus point perlahan keramahtamahan sebagai dasar etika seorang driver mulai berkurang.
Terkadang mendapati driver yang mungkin…maaf lupa pakai parfum-atau memang belum mandi- sehingga mengganggu kenyamanan ketika duduk di boncengan. Ada juga driver yang memakai jins-dengan lubang angin terlalu besar-hingga menampakkan sebagian paha hingga lututnya.
Atau driver yang memakai masker hitam hingga menutupi sebagian wajah hingga leher, menyembunyikan wajah yang sebenarnya dibalik masker.
Sehingga ojek on-line yang tadinya menjadi pilihan karena efektif dan praktis dalam memangkas waktu tempuh ke tempat kerja, tak lagi senyaman di awal-awal kemunculannya. Bahkan belakangan terjadi pula ketidak harmonisan antar sesama driver akibat persaingan yang kian ketat dalam mengejar orderan.
Sepertinya pihak perusahaan tidak membuat batasan atau syarat-syarat terkait etika kepada calon driver. Asalkan punya sepedamotor, lengkap surat STNK dan SIM pasti diterima sebagai driver. Makanya tak heran kalau setiap hari puluhan orang melamar menjadi driver.
Di antara para driver ada yang mengojek hanya sebagai sampingan. Mungkin itulah mengapa ketika sudah tercapai target atau ‘game point’ mereka terkesan santai dan cuek terhadap kenyamanan konsumen. Sampingan atau bukan bukankah seharusnya profesionalisme harus tetap di junjung tinggi demi kualitas sebuah brand?
Sehingga maraknya ojek on-line tak sekedar fenomena melainkan sebuah kenyataan bahwa kota Pematangsiantar telah semakin maju dan melek teknologi internet.(*)