“Two people you should never trust: A religious leader who tells you how to vote and a politician who tells you how to pray”
ADA dua jenis orang yang jangan dipercayai. Seorang adalah pemimpin agama yang mengajakmu pada pilihan politiknya. Dan seorang lain, adalah politisi yang mengajarimu bagaimana berdoa. Silahkan baca buku saya: “Foolitik. Suaramu bukan Suaraku”.
Tentu kita belum alpha. Ketika seorang Ahok di “kudeta” dengan cara pemakaian dalil-dalil agama. Demo berjilid dengan nomer cantik itu, memojokan dan memburunya hingga masuk bui 1,5 tahun.
Ujungnya 58 persen warga DKI mengamini. Dan proses hukum sudah selesai. Kita semua mesti menghormati perjalanan sejarah itu, bukan?
Seminggu menjelang reuni 212, pembelajaran apa yang bisa dipetik dari peristiwa dua tahun lalu? Khususnya tentang demokrasi yang hendak dikembangkan bangsa ini?
Seperti quotation diatas-ada satu jenis orang yaitu pemimpin agama yang mengajak pada sekelompok orang lain, untuk mengikuti pilihan politiknya.
Lantas bagaimana kita bisa membuktikan bahwa quote tersebut diatas relevan dan benar adanya?
Sederhana saja. Coba kita ikuti logika berpikir mereka. Bahwa Ahok harus dijatuhkan-sekaligus disingkirka arena dia Aseng dan non-muslim (kafir).
Jadi terlihat double digit keharamannya. Oleh karena itu, hukumnya menjadi wajib (bukan sunah lagi) untuk dijatuhkan. Maka digelarlah demo berjilid itu.
Puncaknya yang diklaim mencapai 7 juta orang massa (klaim ini pun kiranya bermasalaah, karena ada dugaan mark-up angka 200 persen hinggga 300 persen. Untuk apa? Guna menggentarkan nyali siapapun, baik yang pro maupun kontra.
Lantas siapa penggerak demo-demo tersebut? Semua orang juga sudah mahfum. Dialah Habib Rizieq (yang hingga detik ini masih “nglencer” dinegeri leluhurnya sana). Bagi kalangan mereka, tentu HRS dianggap sebagai pemimpin agamanya. Itulah mengapa sampai dianugerahi titel “Imam Besar”. Dan itu sebenarnya sah-sah saja, kita tidak mempermasalahkan soal itu. Lebih baik saling berkhunuzon dan saling mendoakan yang terbaik saja.
Tapi pada saat yang sama diititik itu pula-ada beberapa pertanyaan penting, yang bisa kita sodorkan
Pertama, benarkah dan seberapa besar–bahwa HRS (sebagai pemimpin agama/ulama) itu bisa mewakili ummat muslim di Republik ini?
Dengan topangan FPI, Ormas yang dipimpinnya itu, berapa legitimate dia? Bukankah, khususnya ulama dan Kyai NU sangat berseberangan dengannya? Dan NU serta Muhammdiyah adalah dua “cagak” (tiang) utama bangsa ini. Bagaimana kita mau menafikan realitas tersebut?
Sangat disayangkan kemudian, hanya karena terpengaruh orasi, agitasi serta provokasi yang berisik dan kencang, sebagian dari kita tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga ikut melarutkan diri disana (barangkali karena ketakutan tak kebagian kavling surga).
Nampak terbaca bukan, bahwa HRS mencoba menempatkan diri sebagai ulama sekaligus mendorongkan preferensi politiknya.