BAMBANG Wijayanto (BW) ditunjuk sebagai Ketua Tim Kuasa Hukum Capres-Cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandi untuk menggugat sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), disisi lain ternyata BW juga berstatus sebagai Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), beberapa pengamat menilai hal ini tidak etis, tetapi Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan tidak ada masalah.
Pada saat pendaftaran gugatan di MK, BW sempat membuat pernyataan yang meragukan independensi dan integritas MK, BW bahkan menyerang Hakim MK, dengan mengatakan agar tidak sekedar menjadi “alat kalkulator”, bukan menjadi bagian dari rezim yang korup.
Apakah BW tidak menyadari bahwa dia telah “menghina pengadilan ?” (CONTEMPT OF COURT). Dalam kedudukan sebagai kuasa hukum, BW seharusnya menghormati Hakim dalam kedudukan sebagai Hakim yang Mulia.
Pernyataan BW itu juga sudah jelas menuduh bahwa pemerintahan yang ada saat ini merupakan rezim yang korup, ini merupakan opini yang berbahaya dan tidak pantas. Apakah BW tidak sadar bahwa kedudukannya sebagai Ketua TGUPP, lalu bersedia juga sebagai Ketua kuasa hukum Capres-Cawapres 02 Prabowo-Sandi, apakah itu bukan tindakan tercela yang bersifat Koruptif ?, sebab gaji besar yang dia terima setiap bulan adalah dari APBD DKI, itu Uang dari Pajak masyarakat DKI.
Disamping tindakan yang bersifat koruptif tersebut, BW juga punya rekam jejak yang kurang baik, dimana saat ini BW masih menyandang status tersangka di Kejaksaan Agung RI, atas kasus dugaan menyuruh saksi untuk memberikan kesaksian palsu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Status tersangka ini di sandang oleh BW saat bertindak sebagai kuasa hukum Ujang Iskandar yang merupakan calon bupati Kotawaringin Barat, dalam gugatan pilkada kota Waringin Barat di MK pada tahun 2010, di duga BW telah mengkoordinir dan melatih beberapa orang saksi untuk bersaksi palsu di MK, salah seorang saksi, yaitu Ratna Mutiara telah di sidangkan, juga seorang saksi lainnya, yaitu Zulfahmi Arsyad yang di beri tugas oleh BW untuk merekrut dan mengkoordinir para saksi, telah di pidana 7 bulan, bersamaan dengan penyidikan terhadap Zulfahmi, pada tanggal 23 Januari 2015 lalu BW ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri.
Pada tahap penyidikan, terhitung 3 kali BW mengajukan Pra Peradilan, namun 3 kali pula dicabut.
Pada tanggal 25 Mei 2015, berkas perkara atas nama Bambang Widjojanto dinyatakan lengkap atau (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum dan telah dilakukan pelimpahan tahap ke-lI pada 18 September 2015, perkara siap disidangkan, namun atas desakan dan rekayasa yang dibangun oleh kawan-kawan BW yang tergabung dalam beberapa LSM, Jaksa Agung Republik Indonesia dengan dalil menggunakan hak prerogatifnya yang diberikan pasal 35 huruf c undang–undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI, telah melakukan deponeering atas perkara qou.
Status tersangka yang di sandang oleh BW tidak mungkin hilang walaupun Kejaksaan Agung mengeluarkan deponering pengesampingan kasus).
Status tersangka itu akan tetap melekat, walaupun belum berarti bersalah sampai ada putusan pengadilan yang tetap, maka saat ini tersangka itu menjadi kuasa hukum.
Disamping itu ada juga cacatan miring lainnya terhadap perilaku koruptif BW, hal ini menyangkut dugaan manipulasi pajak berdasarkan laporan kepada Kejaksaan Agung RI pada tangal 30 Oktober 2018, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) selama menjalankan profesi sebagai pengacara senior partner di Widjojanto, Sonhaji dan assoiciates yang merugikan negara mencapai puluhan miliar rupiah.
Sebagai Penasehat Hukum seharusnya BW menghormati posisinya yangbterhormat, tidak merusak kehormatan itu dengan melakukan tindakan menuduh pihak lain koruptif tanpa adanya bukti yang jelas, padahal diri sendiri tidak etis dan cenderung koruptif. Waspadalah, kalau ada yang teriak maling, karena jangan jangan dialah malingnya. (*)
Penulis, Brigjen Pol (Purn) Victor E Simanjuntak, Ex. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Sekretaris Jendral
Gerakan Daulat Desa (GDD)