SEJAK mula Indonesia tak bisa dilepaskan dari gerakan pemuda. Hingga kini kita bisa lihat dominasi kaum muda dalam segala lini. Termasuk pada lini penegakan demokrasi.
Disisi lain, wacana tentang desa kini telah menjadi dominan. Pilihan negara untuk kembali dan mulai dari desa adalah pilihan tepat. Karena membangun desa sejatinya adalah membangun Indonesia. Setelah UU desa ditetapkan, desa memiliki peluang lebih besar untuk menjadi lebih maju.
Tentu saja hal ini tidak mungkin terwujud serta merta. Butuh kesadaran, kesabaran dan konsistensi gerakan bersama. Butuh perjuangan bersama untuk kemajuan.
Salah satu motor penggeraknya adalah pemuda desa. Tulisan ini akan mengupas peran pemuda desa dalam demokrasi dan Pemilu.
Sosio-Demokrasi
Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu “pemerintahan rakyat”. Bagi Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.
Lebih lanjut, konsepsi demokrasi terangkum dalam Marhaenisme. Marhaenisme dijabarkan dalam trisila, yaitu Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan.
Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi bukan semata-mata demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.
Demokrasi yang diinginkan dan dikonsepsikan oleh Soekarno tidak meniru demokrasi modern yang lahir dari Revolusi Prancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis, adalah demokrasi yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.
Oleh karena itu, kemudian Soekarno mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok untuk Indonesia. Inilah demokrasi Indonesia.
Kata kuncinya adalah musyawarah untuk mufakat. Tertuang pula pada sila ke-4 Pancasila.
Menurut filsuf dan sosiolog asal Jerman, Jurgen Habermas, musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk mencapai konsensus bersama disebut demokrasi deliberatif.
Demokrasi deliberatif adalah model demokrasi yang legitimitasi hukumnya diperoleh dari diskursus yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil, agar partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi dapat dihargai secara setara.
Sehingga partisipasi publik menjadi syarat mutlak dalam demokrasi deliberatif. Partisipasi menjadi kunci untuk mencapai mufakat.
Selanjutnya, sebagai sarana demokrasi guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat, maka Pemilihan Umum diselenggarakan.
Pemerintah negara yang dibentuk melalui Pemilihan Umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dan merupakan lembaga demokrasi.
Secara teoritis pemilihan umum dianggap merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan tata negara yang demokratis.
Partisipasi pemilih menjadi elemen penting karena merupakan syarat terpenuhinya sistem demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat. Sehingga, sekali lagi, dalam demokrasi Indonesia, partisipasi menjadi kunci.
Desa Hari Ini
Budiman Sudjatmiko dalam suatu diskusi pernah menyampaikan bahwa setelah UU Desa ditetapkan, setidaknya desa memiliki ruang, uang dan wewenang yang lebih besar dibanding sebelumnya.
Ruang adalah asset yang dimiliki. Baik yang ada didalam tanah (air, mineral, bahan tambang dsb), yang berdiri diatas tanah (lahan, bangunan dsb) hingga yang berada di atas tanah (udara, iklim, matahari dsb).
Uang, tentu saja terkait besaran anggaran Dana Desa (APBN), Alokasi Dana Desa (APBD) dan sumber dana lainnya.
Yang ketiga adalah wewenang. Wewenang untuk mengelola ruang dan uang. Ketiga hal ini kemudian memunculkan peluang untuk merubah wajah desa lebih baik ke depan.
Namun dalam pelaksanaannya tidaklah mudah.
Semua masih tergantung pada kualitas sumber daya manusia aparatur pemerintahan desa. Hingga kini, supra desa, sebutan untuk pihak diluar pemerintah desa, baik Pemerintah Kabupaten, Provinsi hingga Pemerintah Pusat melalui Kementerian dan Organisasi Perangkat Daerah terus berfokus pada peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa.
Disisi lain, peran masyarakat/ komunitas masih terus didorong oleh berbagai pihak, salah satunya oleh para Pendamping Desa. Desa hari ini didominasi oleh wacana terkait aparatur pemerintahan desa. Belum banyak yang menyentuh pada peran masyarakat/ komunitas.
Padahal merujuk pada pengertian desa pada Undang-undang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa adalah kesatuan masyarakat yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Sehingga kemajuan Desa bukanlah tergantung pada pemerintah desanya saja.
Tetapi juga peran masyarakat desanya dalam memberikan masukan, memberikan kritik dan kontrol terhadap jalannya pembangunan di desanya. Sederhananya, kemajuan desa membutuhkan partisipasi masyarakat desa. Dan jangan lupa, pemuda adalah bagian penting dari masyarakat desa.
Sebagai pendamping desa, penulis melihat bahwa desa yang maju, desa yang baik, biasanya didukung oleh pemuda desanya. Ada peran pemuda dalam pembangunan desanya.
Penulis melihat adanya gap antara desa yang cukup lebar antara desa yang melibatkan pemuda dan yang tidak.
Keterlibatan ini bisa dilihat pada keikutsertaan/ partisipasi pemuda dalam musyawarah desa, peran aktif Karang Taruna, dominasi kaum muda di aparatur pemerintahan desa dan kegiatan lainnya diluar kegiatan kepemudaan.
Mengutip pernyataan Budi Ari, Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, banyak desa-desa yang maju dan berkembang maupun desa-desa yang mandiri itu penggeraknya anak-anak muda. Banyak desa-desa yang maju karena penggeraknya anak-anak muda. Demikian pula untuk desa – desa di kabupaten Wonogiri.
Pemuda: Minoritas Kreatif
Terlalu banyak puja – puji heroik kepada pemuda. Pemuda sebagai harapan bangsa-lah, pemuda sebagai masa depan bangsa, sebagai penentu arah pembangunan dan sebagainya.
Hal ini tidaklah keliru. Tetapi menjadi percuma ketika puja- puji ini menjelma menjadi suatu slogan semata. Hal ini menurut saya justru menempatkan pemuda dalam satu posisi yang justru tercabut dari akarnya.
Pemuda kini justru teralienasi dari lingkungan terkecilnya. Luar biasa kritis dan tajam ketika melakukan kritik kepada kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi atau bahkan Pemerintah Kabupaten. Tetapi mendadak layu, apatis dan melempem ketika berhadapan dengan kebijakan Pemerintah Desanya.
Arnold J. Toynbee dalam A Study of History, mengungkapkan bahwa peradaban berkembang melalui response dan challenge, ada tantangan, ada respon. Dan dalam membangun respon termasuk pelaksanaannya, sangat tergantung dari apa yang disebut Toynbee sebagai creative minorities, atau minoritas kreatif.
Minoritas kreatif merupakan sekelompok manusia atau individu yang memiliki self determining (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan dengan semangat yang kuat).
Bukan hanya memiliki self determining, melainkan mereka juga mempunyai kreatifitas untuk menanggapi lingkungan alamiah dan sosial. Dalam segi jumlah memang sedikit, namun mereka berperan vital sebagai panutan atau pemandu masyarakat kebanyakan dalam menanggapi tantangan zaman.
Dan pemuda (desa) berpeluang dan harus mampu menjadi minoritas kreatif di desanya.
Pemuda dan Desa adalah Kunci
Alvin Toffler dalam Powershift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century mengungkapkan bahwa di abad 21 kekuatan pengetahuan akan menjadi kuasa baru dalam perubahan peradaban.
Dan ini jika digabungkan dengan teori dari Toynbee, bisa didorong oleh minoritas kreatif. Pemuda adalah bagian dari komponen masyarakat yang mempunyai daya nalar sekaligus daya kritis yang kuat.
Maka peran pemuda dalam menggerakkan dan menegakkan demokrasi menjadi vital, dan akan lebih berakar jika dimulai dari lingkungan terkecilnya, yakni desa.
Demikian pula dalam konteks Pemilu.
Gerakan penegakan demokrasi pada Pemilihan Umum semestinya juga menjadi bagian dari gerakan pemuda desa tanpa harus menjadi bagian dari peserta (atau pendukung peserta) Pemilu.
Beragam cara yang bisa dilakukan. Menjadi jembatan antara penyelenggara pemilu dengan komunitas dan masyarakat desa, menjadi sumber informasi terkait latar belakang, rekam jejak, platform dan visi peserta pemilu, ikut serta mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan atau yang paling sederhana adalah menjaga kedamaian di media sosial.
Dan ini tidaklah mungkin dapat dilakukan sendiri-sendiri.
Bagi KPU dan Bawaslu, pemuda desa akan menjadi support system yang baik bagi penyelenggaraan Pemilu.
Maka perlu diperbanyak program dan kegiatan yang memberikan ruang gerak bagi pemuda desa. Dan bagi pemuda desa, ini adalah momentum untuk menjaga dan memuliakan desamu, maka mulailah mengorganisir diri untuk Indonesia yang lebih baik.
Karena pemuda hari ini adalah bangsa kita di esok hari. Desa hari ini adalah negara kita di esok hari. Untuk negara dan bangsa (juga demokrasi), pemuda (desa) adalah kunci. (*)
Penulis adalah Tenaga Ahli Pendamping Desa Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) Kabupaten Wonogiri