HINGGA hari ini, demokrasi masih diyakini menjadi bentuk pemerintahan negara yang paling ideal untuk mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat.
Kini bentuk pemerintahan negara demokrasi dianut secara luas hampir meliputi semua negara di dunia. Menurut Freedom House, tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi electoral di dunia.
Salah satu ciri negara demokrasi adalah terselenggaranya Pemilu secara terus-menerus dan teratur.
Lebih dari itu, penyelenggaraan Pemilu itu hendaknya bersifat umum, bebas, jujur, dan adil jauh dari kecurangan dan pelanggaran.
Dari proses Pemilu yang demikian itu, diharapkan akan melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang mampu mewujudkan keadilan, kedaulatan, dan kesejahteraan rakyat.
Kita memang pantas bangga, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di bawah India dan Amerika Serikat.
Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 12 kali. Sebuah jumlah dan pengalaman penyelenggaraan Pemilu yang cukup panjang.
Namun demikian, Pemilu yang teratur dan terus-menerus itu telah melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang mampu mewujudkan keadilan, kedaulatan, dan kesejahteraan rakyat? Mengapa penyelenggaraan Pemilu selama ini belum mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang benar-benar menedekati kehendak rakyat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur?
Terjebak Aturan Administratif dan Prosedural
Sungguh pun Pemilu 2004 hingga 2019 telah banyak mengalami perbaikan dan penguatan kelembagaan Pemilu, namun tujuan ideal penyelenggaraan Pemilu masih jauh dari harapan. Masih terlalu banyak pelanggaran yang mencederai demokrasi dan kehendak rakyat.
Sebut saja misalnya, maraknya praktik politik uang, intimidasi menggunakan sentimen SARA, penyebaran berita bohong dan kampanye hitam, serta ketidaknetralan ASN. Tragisnya lagi, berbagai kasus kecurangan dan pelanggaran tersebut tidak dapat diproses secara hukum.
Penyelenggaraan Pemilu selama ini seolah terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata.
Terlebih jika dilihat dari pemimpin dan wakil rakyat yang dihasilkan melalui Pemilu, tentu masih sangat jauh dari cita-cita dan tujuan nasional, yaitu tegaknya kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.
Hampir setiap hari rakyat disuguhi berita pejabat pemerintah terjerat kasus korupsi. Hingga Desember 2016, setidaknya ada 122 orang anggota DPR dan DPRD terlibat kasus korupsi.
Menurut Mendagri Tjahyo Kumolo kala itu, antara tahun 2004 hingga 2017 sedikitnya ada 313 kepala daerah menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi.
Dari kurun waktu 13 tahun itu, sebanyak 56 kepala daerah telah menjadi terpidana untuk kasus yang sama.
Mengapa Pemilu dengan biaya yang terbilang sangat tinggi ini kurang mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang amanah? Adakah yang salah secara konseptual dalam penyelenggaraan dan fungsi pengawasan Pemilu?
Tiga Model Negara Demokrasi
Menurut Jeff Hayness (2000), berdasarkan penerapannya ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif.
Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu.
Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya.
Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi.
Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kreteria sebagai sebuah negara demokrasi.
Dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru semakin terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat dan dokumen-dokumen formal.
Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah.
Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi.
Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik suatu negara.
Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Sebenarnya, dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip dasar kedaulatan rakyat betul-betul dapat terwujud. Dalam model negara demokrasi substantif, nilai-nilai dasar demokrasi yang dijalankan melalui Pemilu berguna untuk menyelesaikan pertikaian secara sukarela, menjamin terjadinya perubahan secara damai, pergantian kekuasaan dengan teratur, penggunaan paksaan sedikit mungkin, pengakuan terhadap nilai keanekaragaman, menegakkan keadilan, serta memajukan ilmu pengetahuan (Henry B. Mayo, Miriam Budiardjo, eds. 1980).
Pengawasan yang Modern dan Partisipatif
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki kewenangan besar.
Lembaga ini tidak hanya sebagai pengawas, namun juga bertindak sebagai eksekutor yang berwenang memutus perkara Pemilu. Terbentang harapan akan peran strategis Bawaslu dalam melakukan fungsi pengawasan dan penindakan guna meningkatkan kewibawaan Pemilu dan kualitas demokrasi demi terwujudnya kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.
Penyelenggaraan Pemilu di masa kini dan akan datang sangat membutuhkan fungsi pengawasan yang sangat serius.
Penyelenggaraan Pemilu tanpa fungsi pengawasan yang baik, akan menyebabkan hilangnya hak pilih warga negara, maraknya politik uang, kampanye hitam, dan pemilu yang tidak sesuai aturan. Penyelenggaraan Pemilu yang tidak berintegritas, akan menyebabkan sengketa dan gugatan hasil Pemilu.
Lebih dari itu, Pemilu yang tidak berintegritas hanya akan menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak amanah, karena legalitas dan legitimasinya diragukan.
Namun demikian, instrumen hukum Bawaslu untuk melakukan fungsi pengawasan, terkesan tidak sungguh-sungguh berkehendak untuk memperbaiki kewibawaan Pemilu dan kualitas demokrasi.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 454 ayat 5 disebutkan, hasil pengawasan ditetapkan sebagai temuan pelanggaran Pemilu paling lama 7 hari sejak ditemukannya dugaan pelanggaran.
Hal ini terbilang terlalu singkat untuk menyiapkan bukti dan saksi agar temuan tersebut dapat betul-betul diproses secara hukum.
Terlebih tanpa penghargaan dan perlindungan saksi yang memadai, maka para saksi enggan untuk terlibat dalam kasus hukum.
Oleh karena itu, pengawasan pemilu yang bersifat konvensional sudah saatnya diganti dengan model pengawasan yang lebih modern dan partisipatif.
Selain menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan sesuai aturan perundangan, sudah saatnya kita mendesain ulang tata kelola pengawasan yang lebih efektif dan efisien sekaligus partisipatif. Pada Pemilu 1955 fungsi pengawasan dilakukan oleh peserta Pemilu, Pemilu 1971 hingga 1992 dilakukan oleh pemerintah, Pemilu 1997 oleh pemerintah dan pemantau, Pemilu 1999 oleh penyelenggara dan pemantau, serta Pemilu 2004 hingga 2019 fungsi pengawasan dilakukan oleh lembaga pengawas dan pemantau.
Hendaknya pada Pemilu 2024 dan yang akan datang, fungsi pengawasan lebih melibatkan peran serta masyarakat dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi. Pengawasan partisipatif sangat diperlukan sebagai sebuah tuntutan sistem politik demokrasi modern, yakni segala bentuk dan tahapan Pemilu haruslah melibatkan partisipasi masyarakat.
Rakyat tidak hanya menjadi penonton dan pemilih pasif, tetapi sekaligus sebagai pengawas. Inilah paradigma baru fungsi pengawasan dalam Pemilu yang modern dan partisipatif.
Inilah yang menjadi perenungan, tugas, dan agenda penting penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 dan yang akan datang.
Hendaklah semua pihak berbenah untuk mewujudkan model negara demokrasi subtantif.
Sistem kepartaian hendaknya dibenahi agar partai politik dapat melakukan rekrutmen kader, pendidikan politik rakyat, serta memperjuangkan aspirasinya demi tegaknya kedaulatan rakyat.
Sementara itu, semua penyelenggara Pemilu dan fungsi pengawasan dapat berperan secara profesional, kredibel, dan partisipatif. (*)
Penulis adalah Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.