TAHUN 1911 di Sumatera Utara, telah dikelola perkebunan kelapa sawit, demikian pula di Lampung dan di Aceh. Sekarang ini sudah tersebar luas di berbagai propinsi lain termasuk di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua melalui proyek PIR atau perluasan usaha Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), sekarang kita kenal dengan sebutan Perseoran Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN).
Sebelum perang dunia ke II, Sumatera Utara adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, lalu berkembang terus hingga tahun 1980-an. Tanaman kelapa sawit menjadi komoditi primadona karena memberi keuntungan yang melimpah, sehingga areal diperluas.
Namun perluasan areal tidak membuat Indonesia sebagai penghasil utama minyak kelapa sawit, karena ternyata Malaysia adalah penghasil minyak sawit yang utama. Mengapa justru Malaysia sebagai penghasil utama minyak kelapa sawit? Karena Malaysia mampu mengelola secara efisien serta didukung oleh penelitian dan pengembangan teknologi yang baik.
Dari Primadona Menjadi Rugi
TAHUN 1980-an perkebunan kelapa sawit telah berjasa memberikan keuntungan kepada negara, seharusnya saat ini sudah makin berkembang untuk memberikan keuntungan besar kepada negara, namun faktanya berbicara lain. Beberapa data kerugian pengelolaan perkebunan kelapa sawit yakni,
- Tahun 2015 PTPN XIII yang mencakup wilayah kerja Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah mengalami kerugian hingga Rp300 miliar. Mohammad Abdul Ghoni selaku Direktur Utama mengungkapkan bahwa harga komoditas sawit yang terpuruk tidak sejalan dengan pengembangan areal perkebunan yang terus dilakukan.
- Hingga akhir Desember 2016 PTPN III (Persero) Holding Company mengalami kerugian mencapai Rp1,4 triliun. Kerugian ini dialami pada era kepemimpinan Elia Massa Manik yang bahkan dipromosikan sebagai direktur utama Pertamina, namun tidak berselang lama menjabat Direktur Utama Pertamina telah diganti.
- Pada masa kepemimpinan Dasuki, PTPN IV di Sumut juga mengalami kerugian, namun Dasuki malah dihunjuk menggantikan Elia Masa Manik.
Berbagai alasan diajukan sebagai kambing hitam penyebab kerugian perkebunan kelapa sawit ini. Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, mengatakan bahwa kerugian itu lebih di sebabkan faktor iklim yang membuat terjadinya penurunan produktivitas, yaitu penurunan produktivitas :
- Tandan Buah Segar (TBS). Dari 18,08 ton hektare turun menjadi 16,48 ton per hektare.
- CPO dari 4,09 ton per hektare turun menjadi 3,66 ton per hektare.
- Inti sawit dari 0,79 ton per hektare turun menjadi 0,68 ton per hektare.
Disamping faktor produksi, Yusri Usman mengatakan penurunan harga komoditi kelapa sawit juga penyebab meruginya beberapa PTPN. Mengapa perkebunan di Malaysia tidak mengalami kerugian dari faktor produksi dan turunnya harga komoditi kelapa sawit?.
Itu Karena penelitian dan pengembangan tehnologi mereka tentang kelapa sawit berhasil, sehingga dapat menghasilkan Tandan Buah Segar 12 ton/ha, bandingkan dengan di Indonesia yang hanya 3 ton per hektare, sehingga peningkatan produksi bisa menutupi penurunan harga.