TERINGAT ucapan Presiden Pertama Republik Indonesia yang sangat menyentuh.
“Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi, melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat dipasar Tanah abang dan di Pasar Senen” (Pidato Ir. Soekarno 17 Agustus 1960 Djarek).
“Landreform yang berarti, penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan Landferom memperkuat, memperluas pemilihan tanah terutama kaum tani, tanah untuk tani, tanah tidak boleh menjadi penghisapan, tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk karena menghisap keringat orang yang disuruh menggarap tanah itu.” (Ir. Soekarno)
Mari kita melihat dengan kepala yang bersih, tentang fakta yang ada dihadapan kita saat ini. Bagaimana kondisi konflik agraria semakin tahun bukan semakin membaik melainkan memburuk.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, Tahun 2016 ada 450 Konflik dengan luas lahan 1.265.027 hektar (Sumatera Utara 36, Aceh 24, Sumatera Selatan 22, Riau 44, Jawa Barat 38, Jawa Timur 43), melibatkan 86.745 Kepala Keluarga (KK).
Meningkatnya persoalan konflik agraria, sudah pasti tidak terlepas dari hak kepemilikan lahan atau tanah yang diperhadapkan dengan kepentingan pemerintah yang akan membangun sebuah perusahaan dan membutuhkan lokasi atau lahan masyarakat.
Dengan beralaskan pembangunan atau peningkatan pendapatan daerah atau negara, tanah-tanah rakyat dirampas dan seluruh izin dipermudah dengan berdalih pada ketertinggalan atau berlindung dengan percepatan perbaikan infrastrukutur guna menunjang kemajuan perekonomian Indonesia.
Regulasi yang sudah dibentuk, seperti Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1990, tidak di implementasikan. Situasi agraria di tanah air masih feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme, dan bertolak belakang dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.
Pengelolaan kekayaan agraria nasional berdasarkan keadilan sosial. Namun yang terjadi saat ini bukan berdasarkan keadilan sosial melainkan berdasarkan kekuatan para Investor.
Banyak pihak yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla ketika memasukan reforma agraria sebagai salah satu butir ke-5 program Nawacita. Bahkan Tahun 2016, Jokowi telah mengeluarkan Perpres No 45/2016 tentang menempatkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia.
Sudah memasuki tahun ke-4 kepemimpinan Jokowi-JK, hal tersebut hanya seperti angin segar saja yang berhembus sesaat. Ironisnya lagi, regulasi bertolak belakang dengan tindakan yang dilakukan oleh Jokowi-JK.
Apakah sebuah reforma agraria namanya, jika memberikan tanah kepada orang asing? Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Apakah reforma agraria namanya dengan memberikan perizinan pertambangan kepada asing yang sudah pasti memberikan dampak konflik agraria, apakah reforma agraria namanya dengan memberikan perizinan perusahaan semen yang sudah pasti merampas tanah masyarakat adat? Dan kasus lainnya.
Seperti semua dihalalkan demi sebuah investor masuk ke Indonesia. Sepertinya apa masalahnya, solusinya investor, seolah-olah Jokowi Presidennya para Investor yang melakukan apa pun demi kesejahteraan Investor, bukan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Buat apa infrastruktur bagus tetapi anda tidak memiliki tanah, buat apa pabrik/perusahaan besar jika tanah anda di rampas.
Dengan kompleksnya seluruh persoalan konflik agraria ini, Jokowi-Jk memberikan solusi dengan program Prona yang diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No.189 tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria dengan membagi-bagikan sertifikat tanah.
Pengamatan di lapangan kebijakan ini bukan solusi, karena persoalan konflik agrarianya tidak selesai dan terkesan dipelihara, dan ada dugaan jika seluruh tanah di Indonesia nantinya bersertifikat maka akan lebih mudah untuk jual belinya sehingga tidak ada lagi hambatan seperti tidak ada surat, kepemilikan ganda, milik adat dan sebagainya.
Dan lagi-lagi dalam hal ini yang diuntungkan adalah pemilik modal atau investor yang akan menguasai tanah-tanah rakyat khusunya yang ada di desa-desa.
“Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah abang dan di Pasar Senen” (Ir. Soekarno). (*)
Penulis, Mahasiswa Pascasarja Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta Jurusan: Kajian Konflik dan Perdamaian- Megister of Art in Peace Studi