DEKLARASI kampanye damai yang diucapkan saat mengawali kampanye pada Pemilu 2019 yg lalu ternyata hanya pemanis di bibir semata, saat itu peserta pemilu berjanji antara lain melaksanakan kampanye pemilu tanpa hoaks, ataupun tanpa politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), Namun janji manis itu hanyalah sebagai simbolis yang tidak sesuai fakta ibarat panggang jauh dari api. Agh miris sekali.
Kalian tahu bro n sis, bahwa kemarin tepatnya 50 hari menuju penyelenggaraan pemilu pada 17 April 2019 ini, publik dikejutkan dengan beredarnya video kampanye hitam di berbagai media sosial, Kampanye hitam tersebut dilakukan di Karawang, Jawa Barat.
Dalam video yang viral itu terlihat sejumlah perempuan mendatangi rumah seseorang sambil mengatakan dalam bahasa daerahnya, kalimat yang diucapkan tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “2019 kalau dua periode, enggak akan ada suara azan, tidak ada lagi anak-anak yang mengaji, tidak ada lagi yang memakai kerudung, serta Perempuan dengan perempuan bisa menikah dan laki-laki dengan laki-laki bisa menikah”. Sungguh perbuatan keji dan tidak beradab!
Kampanye hitam itu ditujukan kepada petahana, calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Adapun disebut kampanye hitam adalah karena informasi yang disebarluaskan itu sangat jauh dari faktanya.
Kampanye hitam menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait dengan kapasitasnya sebagai Pemimpin, hal ini juga dapat disimpulkan bahwa betapa masih minimnya SDM Bangsa ini akan Pancasila itu sendiri.
Akan tetapi walapun demikian. Apresiasi patut dan layak diberikan kepada pihak kepolisian yang telah berhasil menangkap tiga perempuan yang diduga melakukan kampanye hitam. Ketiga terduga pelaku itu kini diperiksa di Polda Jawa Barat.
Kita prihatin, sangat prihatin sekali, karena semakin dekatnya Pemilu kian gencar pulalah kampanye hitam yang diproduksi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Tak hanya fitnah yang tidak berdasarkan data, upaya kotor lewat kampanye bernuansa SARA untuk menjatuhkan lawan politik makin habis-habisan.
Pemilu sebagai pesta demokrasi yang mestinya menjadi ajang adu gagasan, malah terus-menerus disesaki kampanye kebohongan. Seakan tidak ada lagi rasa risih mengumbar fitnah atau memutarbalikkan fakta, bahkan Pemilu yang mestinya menggembirakan dan berkompetisi dalam harmoni itu dibajak para penyamun demokrasi.