SimadaNews.com– Wali Kota Pematangsiantar Hefriansyah menyebut wartawan dalam mencari berita pake otak.
“Makanya informasinya jelas. Coba konfirmasi ke KASN. Kata Kusen (staf KASN) itu apa? Makanya kau cari pake otak,” kata Hefriansyah, ketika dikonfirmasi salah seorang wartawan beberapa waktu lalu.
Kalimat “pake otak” yang diucapkan Hefriansyah ramai diperbincangkan pengguna media sosial, bahkan tak sedikit yang mencibir, meski ada yang mendukung.
Pakar bahasa Indonesia dari Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, Junifer Siregar MPd, mengecam pernyataan Hefriansyah.
Menurut Junifer, pernyataan itu menyakitkan dan tidak etis diucapkan Hefriansyah yang notabene seorang pejabat publik.
Junifer menjelaskan, dari sundut pandang bahasa, frasa “pake otak” memiliki makna kasar dan tidak santun. Itu dapat dianalisis dari segi makna dan dari segi prinsip kesantunan berbahasa.
Frasa “pake otak” dari segi makna terdiri dari dua kata, yakni “pake” (pakai secara kebakuan) dan otak”. Kata pake/pakai adalah kata dasar dari “memakai”. Sedangkan makna “memakai” adalah “mengenakan, menggunakan”, sedangkan makna “otak” adalah “benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf, alat berpikir; pikiran.
Secara denotasi “pake otak” berarti “memakai otak, mengenakan otak, menggunakan otak. Namun ditinjau dari pragmatik (makna bertutur), tuturan Hefriansyah tersebut sangatlah kasar dan kurang tepat. Dalam kajian pragmatik dikenal makna tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
“Jadi makna lokusioner dari pernyataan beliau (Hefriansyah) memberitahukan. Makna tindak tutur ilokusioner (ilocutionary act) yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji pertanyaan dan sebagainya,” ujar Junifer.
Makna ilokusioner dari pernyataan wali kota Pematangsiantar, lanjut Junifer, sama halnya dengan menyatakan bahwa, “jurnalis dalam hal ini wartawan yang melakukan konfirmasi, harus mencari informasi tersebut dengan otak, bukan dengan yang lain (kaki, tangan, dengkul, dan yang lain).
Makna tindak tutur perlokusi (Perlocutionary act), yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya.
Salah satu konteks bertutur adalah lawan tutur. Dalam hal ini, lawan tutur Hefriansyah adalah adalah wartawan yang melakukan konfirmasi.
Wartawan yang melakukan konfirmasi, adalah mahkluk yang berpikir, bekerja pakai otak karena wartawan adalah manusia. Sehingga makna perlokusi peryataan wali kota tersebut memiliki dampak, efek negatif dari lawan tutur dalam hal ini bukan hanya jurnalis.
Kedua, sebut Junifer, dari segi kesantunan berbahasa (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain.
“Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak menghina, tidak mengancam muka, seperti yang dilakukan wali kota Hefriansyah,” ucapnya.
Kesantunan berbahasa dijelaskan Junifer ada empat, yakni Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Santun dalam bertutur selaras dengan etiket berbahasa (language etiquette). Lalu, pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face saving). Kemudian, kontrak percakapan (conversational contract).
“Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa,” imbuhnya.
Berikutnya, pandangan kesantunan yang berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific), dan gaya bicara (style of speaking).
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.
“Beliau jangan lupa, ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi,” terang Junifer.
Dampak dari bahasa yang dilontarkan itu, Hefriansyah akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Oleh karena itu, Junifer menyarankan siapapun pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra. (snc)
Editor:Hermanto Sipayung