KITA mau menjadi satu bangsa yang bebas merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu bangsa besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo.
Demikian pidato Presiden RI Sukarno tanggal 17 Agustus 1963.
Kasus kemiskinan di Republik Indonesia merupakan pembahasan serius, hingga pada bulan Maret 2017 menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen), masih pada angka yang tinggi.
Jika kita mengacu pada regulasi yang ada pada, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, dikatakan penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga.
Dalam Penanganan fakir miskin pemerintah harus mentaati azas azas kemanusiaan, keadilan sosial, nondiskriminasi, kesejahteraan, kesetiakawanan dan pemberdayaan.
Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Pilihan kata dalam klausul ayat tersebut ternyata dapat memunculkan makna yang berbeda-beda.
Dengan mengacu pada regulasi yang ada seharusnya angka kemiskinan diatas sudah bisa diatasi, namun realita yang ada saat ini mengatasi kemiskinan pemerintahan Joko Widodo hanya terfokus kepada pembangunan Infrastruktur seperti jalan tol dimana-mana.
Sepanjang 2.623 Kilometer jalan tol yang sudah dibangun. Apakah benar ini yang menjadi kebutuhan fakir miskin? Dengan dalih untuk mempermudah pengiriman barang agar harga beli semakin rendah, namun ini hanya sebagai apologet belakang.
Padakenyataanya kepentingan para pengusaha atau bisnis.
Dengan kebijakan yang lebih berpihak kepada para pemilik modal, dan kepada masyarakat yang perekonomiannya menengah keatas, maka semakin menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang berkelanjutan (Sistem belum berpihak pada orang miskin).
Berpihakkepada kaum miskin kota tidak cukup hanya dengan mengunjungi, foto-foto, bersama mereka (alat politik Pencitraan), namun harus ada sebuah kebijakan yang dikeluarkan untuk mewujudkan “Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo”. Slogan Trisakti Bung Karno tentang Berdikari Secara Ekonomi yang sering diucapkan oleh Joko Widodo (Presiden RI) hanya sebagai topeng.
RealitanyaRealitanya ekonomi Indonesia bukan berdikari melainkan ketergantungan pada Investor, sehingga yang miskin akan tetap miskin dan yang kaya akan semakin kaya.
Mengingat kalimat “Biarkan kekayaan alam kita tersimpan di perut bumi, hingga Insinyur” Indonesia mampu mengolahnya sendiri (Ir. Soekarno), ungkapan ini pun semakin tidak relevan lagi dimasa kepemimpinan Joko Widodo dibuktikan dengan perizinan pertambangan (Sumber Daya Alam) yang dikelola oleh bangsa lain (Investor).
Hingga pada akhirnya kita sampai kepada titik kemiskinan yang diciptakan atau sistemlah yang membuat bangsa ini selalu miskin dan tertinggal. (*)
Penulis:Mahasiswa Pascasarja Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Jurusan: Kajian Konflik dan Perdamaian- Megister of Art in Peace Studi