KETAHANAN pangan menjadi salah satu sasaran program jangka Panjang pemerintah sampai tahun 2040 menuju Indonesia emas. Target utama dari ketahanan pangan adalah swasembada pangan. Dengan swasembada pangan (beras) maka program tahunan seperti makan siang gratis dan stabilitas harga beras bisa terjamin.
Kebutuhan beras nasional rerata per tahun tahun 2019-2023 adalah 56 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 33 juta ton beras. Kebutuhan nasional beras dipenuhi dalam negeri sebesar 53 juta ton GKG, sisanya diimpor dari beberapa negara sebanyak 3-5 juta ton atau 5 persen dari produksi nasional (BPS, 2023).
Untuk mencapai swasembada beras diperlukan penambahan produksi minimal 3-5 juta ton per tahun. Tantangan lain dari Upaya swasembada beras lainnya adalah penurunan luas lahan sawah sebesar 0,3 persen setiap tahun.
Dengan penurunan tersebut, maka diperkirakan pada tahun 2040 akan terjadi penurunan lahan sebesar 4,8 persen dari produksi nasional jika tidak ada Upaya mempertahankan atau menambah jumlah lahan sawah. Dengan demikian, maka kebutuhan penambahan produksi sebesar 10 persen dari produksi nasional sekarang sampai dengan Tahun 2040.
Upaya pemerintah menuju swasembada pangan dilakukan dengan tiga pendekatan besar, yaitu mempertahankan konsistensi produktifitas hasil panen per hektar, menambah luas lahan sawah tersedia, dan meningkatkan jumlah frekuensi panen.
Tingkat keberhasilan belum signifikan dibuktikan dengan Produktivitas GKG yang belum meningkat pada tahun 2023. Oleh karena itu perlu analisis dan terobosan agar program swasembada pangan dan makan siang gratis dapat terjamin.
Upaya mempertahankan produktivitas beras telah dilakukan dengan mekanisasi pertanian, pemupukan, bibit unggul, dan penyemprotan hama. Program tersebut telah berlangsung dengan baik dan mampu mempertahan kapasitas produksi minimal 5 ton GKG per hektar sawah. Benih-benih unggul telah dihasilkan bahkan banyak yang mampu panen 3x setahun.
Upaya penambahan kapasitas produksi 3,5 juta GKG dapat dipenuhi dengan menambah luas lahan sawah sebanyak 650 juta hektar. Tantangan perubahan lahan mon produktif atau lahan tidur menjadi lahan produktif untuk perkotaan maupun industri lebih dominan daripada persawahan karena nilai ekonomisnya lebih tinggi.
Penambahan lahan sawah dapat diperoleh dengan konversi lahan tandus seperti di daerah timur dan konversi lahan gambut. Lahan gambut di Indonesia sangat besar, sehingga sangat cukup menyediakan 1 jutaan hektar, namun aspek sosial budaya bakar lahan, struktur tanah asam, dan ekologi (lingkungan) membuat biaya konversi sangat mahal dengan tingkat keberhasilan yang rendah.
Walaupun terdapat percobaan penananam padi di lahan gambut dapat menghasilkan maksimal 4,5 ton GKG per hektar dengan masa siklus tanam 105 hari, namun persoalan budaya Masyarakat setempat yang suka membakar lahan dan dampak lingkungan lebih mendominasi tantangan keberhasilannya. Program konversi lahan gambut menjadi lahan persawahan membutuhkan biaya sangat tinggi.
Masalah distribusi air dengan membangun saluran irigasi dan pompanisasi dapat cukup membantu, namun memerlukan terobosan baru untuk daerah-daerah yang kesulitan air seperti di daerah Nusa Tenggara Barat dan Timur.
Upaya yang cukup signifikan menaikkan produktivitas padi adalah dengan meningkatkan frekuensi panen. Jika selama ini frekuensi panen rerata adalah 2,2 kali panen, maka dapat ditingkatkan menjadi 2,5 sampai 3 kali panen per tahun. Peningkatan tersebut dapat meningkatkan produktivitas sebesar 10-20 persen per tahun. Kenaikan tersebut dapat dilakukan dengan ditunjang bibit yang baik dan jumlah air memadai.
Mengamati permasalahan tersebut, nampaknya penyediaan air lingkungan bisa jadi terobosan meningkatkan produktivitas padi dan swasembada pangan. Dengan penambahan lahan tandus 500 ribu hektar dan meningkatkan frekuensi panen menjadi minimal 2,5 kali setahun, maka dapat dicapai swasembada pangan.
Penyediaan air selama ini menggunakan pompanisasi dan irigasi. Pompanisasi membutuhkan biaya pengadaan dan perawatan mahal, sehingga tidak bisa pemerataan. Untuk pengadaan air yang merata, maka dapat digunakan teknologi modifikasi cuaca untuk mengairi daerah-daerah sulit air dan meningkatkan frekuensi panen. Jika biasanya panen dua kali setahun, maka dapat dibuat pada masa puncak kemarau tetap mendapatkan air untuk menambah frekuensi panen.
Teknologi modifikasi cuaca di Indonesia telah digunakan untuk mengatasi puncak kemarau atau pengisian waduk penghasil Listrik. Teknologi modifikasi sudah dilakukan sejak tahun 1979 dan telah berkembang pesat dengan Tingkat keberhasilan mencapai 95 persen dan mampu meningkatkan intensitas hujan antara 8 sampai 20 persen.
Teknologi cuaca untuk ketahanan pangan dapat diaplikasikan dengan meningkatkan intensitas hujan pada musim kemarau puncak sehingga bisa menambah frekuensi panen menjadi tiga kali. Teknologi modifikasi cuaca juga dapat digunakan untuk mengatasi lahan-lahan sawah dari tanah tandus, sehingga bisa menambah sawah baru walaupun dua kali panen. Dengan demikian, secara teoritis, maka swasembada pangan dapat dicapai dengan meningkatkan rerata frekuensi panen 2,5 kali setahun dan penambahan 500.000 hektar area sawah dari tanah tandus.
Teknologi cuaca yang mula-mula dilakukan tahun 1979 oleh pemerintah melalui TNI, kemudian dilanjutkan BPPT dari tahun 1985 sampai tahun 2022, yang akhirnya menjadi BRIN.
Sejak tahun 2024 banyak bermunculan agen modifikasi cuaca swasta beroperasi di Indonesia. Beberapa waduk yang telah memanfaatkan modifikasi cuaca untuk PLTA seperti waduk Brantas, CItarum, Poso, DAS Mamasa, dan lainnya. Adanya pemanfaatan modifikasi cuaca juga sekaligus mengatasi masalah kesenjangan lahan sawah dan distribusi padi yang selama ini terkesan Jawa-Bali centris sebagai lumbung padi.
Adanya modifikasi cuaca dapat membentuk lumbung-lumbung padi baru di seluruh Indonesia. Swasembada padi akan membuat Indonesia Merdeka pangan seperti yang dicita-citakan pendahulu kita sejak tahun 1945. Semoga berhasil. (*)
Penulis adalah Ahli Peneliti Utama BRIN, pemerhati material energetik, roket, dan cuaca.