SimadaNews.com – Koordinator Aksi Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi), Saud Damanik menyatakan, “Secara jelas kita mengetahui bahwa di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar, hidup dan tinggal suku asli yakni etnis/suku Simalungun.”
Diungkapkannya melalui rilis yang disampaikan kepada simadanews.com, Selasa (17/08/2021), sebelum kemerdekaan, Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar dipimpin 7 kerajaan yang sering disebut haraja on marpitu, yaitu Damanik (Pematangsiantar, Bandar dan Sidamanik), Sinaga (Tanoh Jawa), Purba Pak-Pak (Purba), Purba Tambak (Dolok Silou), Saragih Garingging (Raya), Purba Dasuha (Panei) dan Girsang (Silimakuta).
“Pada lampiran I dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia yang bernomor SK.352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang Langkah-langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba ada 22 usulan hutan adat di lingkungan danau toba untuk penyelesaian, dan 3 dari usulan itu berada di wilayah Kabupaten Simalungun yakni seluas 3.039 HA,” kata Saud Damanik.
Terhadap klaim sepihak, beberapa kelompok masyarakat yang bukan merupakan bagian dari suku Simalungun dan mempunyai hutan adat di Kabupaten Simalungun, menurut Saud Damanik, klaim tersebut sangat melukai hati masyarakat etnis/suku Simalungun.
“Selama ini, etnis/suku Simalungun sangat menjaga toleransi antar etnis/suku yang tinggal dan hidup di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Klaim-klaim seperti ini akan membuat pandangan publik luar bahwa etnis/suku Simalungun telah punah dan sudah tidak ada lagi di muka bumi ini,” katanya.
TUTUP PT. TPL DAN KORPORASI PERUSAK LINGKUNGAN
Terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukan PT. TPL dan korporasi lainnya, dijelaskan Saud Damanik, telah membuat lingkungan Danau Toba sangat memperihatinkan.
“Hal tersebut, dapat kita lihat dengan terjadinya banjir dan longsor di sekitaran Danau Toba khususnya di seputaran Kabupaten Simalungun. Perubahan kualitas air di Danau Toba membuat ekosistem menjadi rusak parah,” kata Saud Damanik.
Kondisi tersebut, menurutnya, berdampak pada program pemerintah yang menjadikan Danau Toba objek wisata super prioritas akan gagal akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Keselamatan masyarakat yang tinggal di seputaran Danau Toba sangatlah terancam.
“Dari uraian di atas, Himapsi meminta dengan tegas agar pemerintah tidak menyerahkan tanah adat/hutan adat atau sebutan lainnya kepada suku yang bukan merupakan bagian dari etnis/suku Simalungun di Kabupaten Simalungun; Bupati Kabupaten Simalungun dalam waktu 3 x 24 jam melakukan konferensi pers menyatakan “tidak pernah mengeluarkan peraturan bupati/rekomendasi dalam pengajuan hutan adat kepada kelompok masyarakat yang bukan etnis/suku Simalungun”; dan pemerintah dalam waktu 7 x 24 jam menutup PT. TPL dan korporasi perusak lingkungan Danau Toba,” kata Saud Damanik. (***/Rilis)