SEBUT saja, seorang ibu rumah tangga bernama Nensy (bukan nama sebenarnya), guna membantu pendapatan suami untuk kelangsungan rumah tangga, pernah mencoba mengajukan kredit (pinjaman uang) penambahan modal usaha kecilnya senilai Rp100 juta pada sebuah Bank Perkreditan Rakyat di daerah Yogyakarta.
Sekalipun dinilai dan dinyatakan layak untuk menerima pinjaman dan mempunyai kesanggupan membayar cicilan sebagaimana mestinya, ternyata harus gigit jari karena dirinya dilaporkan sebagai seorang debitur pada Bank Syariah tertentu yang memiliki tunggakan dan dinilai dengan kategori “Kolektabilitas-5” atau “kredit macet”.
Tentulah, semua impiannya tentang perolehan tambahan uang dari keuntungan pengembangan usahanya sirna. Lebih terkejutnya lagi, Bu Nensy dinyatakan memiliki pinjaman senilai lebih dari Rp1,3 miliar dengan agunan sebuah bangunan ruko di daerah Klaten. Dan dengan semua bunganya, tunggakan kreditnya telah menjadi Rp2,5 miliar lebih.
Si perempuan berstatus ibu rumah tangga itu pun terkesima sekaligus sedih. Setelah konsultasi ke beberapa kenalan dan bertanya ke pihak BPR yang sedianya akan memberi pinjaman, maka Bu Nensy menjajaki lebih lanjut perihal statusnya di bank syariah tersebut.
Apa yang diperolehnya? Malah semakin membuatnya terhenyak sekaligus takut untuk melakukan transaksi perbankan terutama pengajuan pinjaman kredit.
Sekalipun memang Bu Nensy yang kebetulan non muslim ini, memiliki buku tabungan/rekening di Bank Syariah dimaksud, namun selain jumlah saldonya sangat kecil, dia pun memang tak pernah memiliki kredit pinjaman seperti yang dinyatakan padanya.
Lalu dia mengupayakan perolehan informasi lebih jauh seraya meminta pemulihan statusnya pada dokumen “BI-Checking untuk dan atas namanya”.
Yang memprihatinkan adalah ternyata, setelah lebih dari 3 bulan sejak diketahuinya dari bank BPR (tempat pengajuan kredit yang menolaknya) barulah catatan Kolektabilitas-5 untuk dan atas namanya dipulihkan sebagaimana diketahui melalui laporan “BI Checking” yang diperoleh dari BI melalui Bank Syariah tersebut.
Data Tertukar dengan Nasabah Lain
Ternyata kemudian hari diketahui, bahwa informasi pribadinya yang tersimpan pada Bank Syariah tersebut telah tertukar dengan debitur lain pada bank yang sama. Padahal semua identitas keduanya saling berbeda sama sekali.
Bu Nensy mencoba mengingat-ingat dan berfikir lebih jauh. Pertama, Bu Nensy sama sekali tidak pernah menerima surat peringatan atau surat teguran apapun sama sekali dari bank syariah yang menyatakan dirinya sebagai debitur kolektabilitas-5.
Kedua, kekeliruan catat dengan data tertukar atas nama nasabah/debitur lain telah berlangsung lebih dari setahun.
Dia pun tidak habis pikir bagaimana mungkin bisa data-data pribadinya yang tersimpan di bank syariah tersebut tertukar dengan nasabah/debitur lain dan berlangsung sejak lama padahal saldo pada buku tabungannya tak sepadan dengan bayaran cicilan bulanan untuk pinjaman sejumlah Rp1,3 miliar.
Lucunya, sekalipun pihak Bank Syariah terkait memiliki kewajiban melaporkan semua transaksi dan status keuangan seluruh nasabah dan/ atau debiturnya kepada pihak bank sentral (BI), mengapa pulak pihak BI tak dapat menemukan kesalahan ini dan membiarkan hal ini berlangsung berbulan-bulan? Padahal jelas akan dengan mudah mendeteksi adanya selisih jumlah saldo dan atau ketidaksesuaian antara nama, rekening, agunan, kredit dan cicilan antar nasabah yang tumpang tindih.
Atau sebaliknya jika tidak memiliki sistem/cara mendeteksinya bisa kita bayangkan apa yang terjadi. Berapa banyak potensi kejahatan yang muncul, berapa banyak kejahatan perkreditan yang selama ini berlangsung.
Hasil investigasi, kasus semacam ini sangat banyak terjadi pada perbankan yang memiliki nasabah dari kelompok masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya sangat banyak.
Dari hasil investigasi, dan penelusuran nama dan alamat nasabah/debitur yang informasi/data nya telah tertukar untuk waktu yang sangat lama dengan Bu Nensy, ternyata seorang pria yang cukup dikenal oleh lingkungannya sebagai “pemain mafia kredit perbankan”
Saat ini sekalipun telah melapor kepada pihak kepolisian setempat, kasus Bu Nensy masih belum jelas bagaimana akhirnya. Secara perdata, jelas Bu Nensy mengalami kerugian materil dan telah menjadi korban perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak bank syariah terkait.
Bank Urat Nadi Perekonomian Jangan Sekedar Slogan
Perbankan merupakan urat nadi perekonomian Indonesia karena disinilah lalu lintas transaksi keuangan terjadi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rakyat.
Nasabah memiliki peran penting dalam dunia perbankan karena merupakan salah satu sumber dana utama. Namun, sesuai adagium “Akar dari semua kejahatan adalah uang” dan “dimana ada uang disana ada potensi kejahatan”, maka cenderung potensi timbul praktek kejahatan dengan jumlah korban terbesar adalah dunia perbankan.
Apalagi di masyarakat kita penggunaan uang sebagai alat tukar masih berlangsung untuk taraf pemenuhan “keinginan” bukan sebagai pemenuhan “kebutuhan” masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan perbankan, jaminan dan kualitas hubungan keterikatan (Perjanjian) perbankan dengan masyarakat menjadi utama. Namun dalam prakteknya pihak bank secara sepihak membuat syarat-syarat dan ketentuan yang harus diikuti sepenuhnya oleh nasabah yang mengajukan permohonan dan memiliki kekuatan mengikat.
Dimana biasanya dalam pembuatan perjanjian tersebut, nasabah tidak dalam posisi tawar-menawar (bargaining position) yang menguntungkan karena formulir-formulir perjanjian tersebut tidak dibuat didepan kedua pihak, melainkan disiapkan hanya oleh pihak bank.
Sudah sewajarnya, apa yang dialami Bu Nensy yang mungkin terjadi pada nasabah lain, harus diperjuangkan. Dugaan kejahatan perbankan termasuk Bank Syariah yang diharapkan menjadi salah satu pemangku kepentingan pembangunan ekonomi syariah di tanah air, harus dibongkar. Supaya masyarakat tidak ada lagi yang dirugikan. (*)
Penulis, Charles HM Siahaan SH, praktisi hukum yang juga Badan Pendiri dan Dewan Pengurus Pusat Gerakan Daulat Desa dan Gerakan Kebajikan Pancasila.

Discussion about this post