SEORANG teman menggerutu sekaligus menumpahkan kekesalannya, tentang seorang kepala daerah yang sudah terpilih, memenuhi pinangan partai politik untuk menduduki posisi KETUA PARTAI.
Kekesalan lainnya, si kepala daerah itu, belum pula DILANTIK, sudah bermanuver politik, dengan latarbelakang bukan juga kader partai, karena selama ini berada di barisan eksekutif. Apalagi, di masa Pilkada, bersama pasangannya, diusung 8 partai sebagai CALON TUNGGAL berhadapan dengan KOLOM KOSONG.
Teman yang menggerutu itu, bertanya, “sebenarnya, yang dikejarnya menjadi KETUA PARTAI atau mau membangun daerah yang akan dipimpinnya?”
Memang, tidaklah “dosa” – karena setiap warga negara – punya hak yang sama dalam menentukan arah keberpolitikannya.
Sedaya ingatan, sejak awal memasuki ruang pencalonan kepala daerah, sang tokoh tersebut, tidak berada di rumah partai politik apapun. Kemudian, tiba-tiba menetapkan satu keputusan untuk memilih salah satu partai politik yang dijadikannya sebagai “anak kandung politiknya”.
Padahal, tujuh partai politik lainnya, merupakan kekuatan-kekuatan yang lebih besar dibandingkan partai politik pilihannya.
Alangkah baiknya, jika sang kepala daerah itu, tidak berada atau berdomisili di salah satu rumah partai politik apa pun. Tetapi saling bersinerji sebagai satu kesatuan yang sudah dimulai dalam tahapan Pilkada 9 Desember 2020.
Jadi – kata teman itu – semua ini, sangat berkaitan dengan bagaimana cita rasa politik si kepala daerah tersebut. Atau sangat erat hubungannya dengan seperti apa pendampingan para penasehat politik si kepala daerah tersebut.
Sahwat politik yang ditebarkan dengan terburu-buru – apalagi belum dilantik sebagai kepala daerah – tentu menimbulkan persepsi yang nano-nano, terutama bagi tujuh partai politik lainnya dan begitu juga bagi masyarakat awam.
Di posisi rumah politik, bagaimana caranya si kepala daerah, menyampaikan argumentasi kepada 7 partai politik lainnya, terkait keputusannya menetapkan pilihan terhadap partai politik yang hanya memiliki 2 kursi, sementara ada partai politik lain yang memiliki 8 kursi, 5 kursi, 4 kursi dan 3 kursi. Kenapa tidak memilih jabatan KETUA PARTAI POLITIK dengan yang punya 8 kursi.
Kemudian, bagaimana dengan masyarakat awam, yang mempertanyakan, sebenarnya tujuan tokoh tersebut, hendak menjadi kepala daerah atau menjadi KETUA PARTAI POLITIK.
Belum lagi diketahui bagaimana kemampuannya dalam membangun kota dimana konstituennya berada, sudah pula menambah pekerjaan baru sebagai KETUA PARTAI POLITIK.
Keberpihakan politik? Tentu saja menjadi sesuatu yang akan dipertontonkan si kepala daerah. Dan dengan “kebutaan politik” karena si kepala daerah selama ini lebih kental dengan dunia eksekutif, akan menjadi poin berat yang akan dihadapinya.
Apalagi sudah dapat dipastikan, dialog politik partai politik yang sudah di-KETUA-inya, akan berbeda bahasa politik–nya dengan 7 partai politik yang juga mengusungnya sebagai CALON TUNGGAL.
Itulah yang sangat disesali teman itu, bahwa si kepala daerah yang belum dilantik tersebut, disengaja atau tidak disengaja, telah “membumikan” pepatah yang mengatakan, “banyak jalan menuju Roma.”
Bagaimana tidak, sebagai kepala daerah yang juga KETUA PARTAI dengan 2 kursi itu, mau tidak mau, akan berhadapan dengan 7 jalan (partai politik) menuju Roma yang akan dilintasinya di “rumah perwakilan rakyat.”
Si kepala daerah – yang belum dilantik tersebut – yang telah menduduki kursi KETUA PARTAI POLITIK, telah menciptakan dan menjeput sendiri masalah yang akan dihadapinya.
Kemudian, kata teman yang menggerutu itu, “yang kita takuti, jangan pula si kepala daerah tersebut, hanya akan menjadi kepala daerah yang dikendalikan orang-orang yang merasa lebih memiliki kekuatan dan yang sebenarnya memiliki sahwat kepenguasaan untuk lebih berkuasa.”
Banyak-banyaklah memanjatkan doa, agar sahwat politiknya sebagai KETUA PARTAI POLITIK tidak lebih mendominasi dirinya, dan menjadi terabaikan visi-misi menjadikan kota yang dipimpinnya lebih maju, dan sejahtera.
Atau rakyat yang alpa ketika masa tahapan Pilkada untuk membuat kesepakatan, jika terpilih, si kepala daerah untuk tidak tergiur terhadap tawaran menjadi KETUA PARTAI POLITIK? Agar lebih fokus membangun, dan tidak bercabang pikiran untuk melayani lagu permintaan para penguasa partai politik yang dimasukinya.
“Tetap saja kita ingatkan” – kata kawan itu – “Anda dipilih untuk menjadi kepala daerah, bukan menjadi KETUA PARTAI POLITIK?” (***)

Discussion about this post