Oleh: Eduardus B. Sihaloho, S.Ag
Uang bukan segala-galanya, tetapi memang dalam segalanya (urusan) membutuhkan uang. Ungkapan ini benar adanya, sebab Kabupaten Simalungun saat ini yang dipimpin oleh Bupati Radiapoh Hasiholan Sinaga, SH dan Wakil Bupati Zonny Waldi, S.Sos, M.Si berada pada posisi minim anggaran. Namun situasi yang mendesak sedang berada di depan mata, yakni perlu membangun dan memperbaiki jalan-jalan yang rusak di Kabupaten Simalungun sekian ribu kilometer. Ekspektasi warga masyarakat dengan dilantiknya Bupati dan Wakil Bupati baru menuntut supaya jalan-jalan yang rusak diperbaiki secepatnya. Sebab itulah kerinduan dari masyarakat selama ini yang merasa tidak pernah diperhatikan oleh pemimpinnya.
Beberapa hari setelah dilantik sebagai bupati, Radiapoh Hasiholan Sinaga mendeklarasikan suatu spirit baru yakni Marharoan Bolon (Bergotong Royong), walaupun sebenarnya semangat itu telah lama ada dalam khazanah habit masyarakat Simalungun. Tetapi cukup lama dikesampingkan, karena berbagai hal dan pertimbangan dari masyarakat dan pemimpinnnya. Dalam kondisi minimnya anggaran daerah Kabupaten Simalungun semangat membangun dari bupati bukan berarti lagnsung pupus. Gerakan Marharon Bolon menggerakkan seluruh komponen masyarakat untuk bahu-membahu dalam membangun masyarakat. Setiap pemimpin (Kepala Dinas, Camat, Pangulu, Gamot) mengakomodir setiap potensi yang ada di tengah masyarakat untuk bersatu-padu menyatukan setiap kemampuan demi nagori, kecamatan dan kabupaten yang lebih baik.
Melihat kondisi riil saat ini situasi jalan-jalan di dusun, nagori, kecamatan di berbagai wilayah Kabupaten Simalungun sudah semakin baik bahkan warganya semakin bangga dengan kampungnya, nagorinya. Jalan-jalan sudah banyak yang diperbaiki. Namun sumber dana perbaikan jalan tersebut bukan bersumber dari kas daerah Kabupaten Simalungun. Semua berasal dari upaya mandiri baik dari warga masyarakat, pengusaha, perantau Simalungun termasuk bantuan secara pribadi dari Bapak Bupati Simalungun.
Hal ini menjadi contoh nyata dari spirit Marharoan Bolon bahwa Simalungun mampu membangun daerahnya tanpa anggaran dari kas Kabupaten Simalungun. Dari kenyataan ini jelas tampak bahwa uang tidak menjadi penentu segala persoalan hidup manusia. Memang uang tetap penentu untuk melakukan suatu kegiatan dimanapun. Tetapi banyakpun uang yang dimiliki, tetapi kalau tidak ada sosok atau tokoh yang menggerakkan untuk berbuat sesuatu, maka uang yang banyak itupun tidak akan berarti sama sekali. Swadaya biaya pembangunan yang digerakkan melalui Marharoan Bolon telah mengubah persepsi masyarakat Simalungun untuk bisa maju dan berkembang tanpa ditentukan adanya anggaran terlebih dahulu.
Spirit dari Marharoan Bolon adanya kesatuan rasa dan semangat (ahab). Kesatuan ahab itu melebur menjadi satu semangat yang membara, sehingga setiap orang tidak merasa rugi walaupun memberikan dari yang dia miliki. Sebab dari sana muncul semangat rela berkorban demi kepentingan bersama, demi kepentingan orang banyak. Seperti pengakuan dari seseorang di Nagori Banua Bandar Purba, Kecamatan Purba mengatakan: “Ai soppat pe au mangidah dalan nami on dear sadokah goluhku (Apakah masih sempat saya nikmati jalan yang baik di Desa Banua Bandar Purba selama hidup saya)?
Ternyata setelah dilaksanakannya launching tagline Marharoan Bolon oleh Bupati Simalungun di desa mereka hasilnya sungguh luar biasa dan saat ini jalan mereka sangat bagus untuk dilalui, karena perjalanan sudah semakin lancar. Beda dengan dahulu sebelum diperbaiki jalannya bagaikan kubangan kerbau. Akhirnya muncul harapan baru dengan ungkapan :”Malas uhur boi ma diri tarsirom! (Hati senang karena sudah bisa tersenyum)”. Ini masih pengakuan sebagian kecil warga masyarakat yang telah merasakan dan menikmati perubahan kondisi jalan dan nagori mereka. Karena itu, penulis bisa berkesimpulan bahwa spirit yang sama pasti merasuki warga-warga masyarakat yang lain, ketika daerah mereka mengalami perbaikan berkat kesatuan dan kekompakan warga membangun kampungnya sendiri melalui semangat marharoan bolon.
Gerakan marharoan bolon di Kabupaten Simalungun saat ini sungguh menjadi bukti kesatuan perasaan dan semangat menuju tanah Habonaron Do Bona menjadi lebih baik. Hampir di seluruh kecamatan dan nagori di Kabupaten Simalungun akhir-akhir ini bergerak untuk bergotong-royong untuk perbaikan jalan-jalan rusak, jembatan, jalan gang, jalan ke ladang. Kerelaan untuk marharoan bolon bukan di-stimulus oleh adanya upah atau gaji yang menggiurkan, tetapi lebih karena marsadani uhur demi kampung yang lebih layak dan nyaman. Bahkan orang-orang yang marharoan bolon tersebut rela untuk memberikan uang, alat berat, tenaga, dan waktunya tanpa mengharapkan adanya imbalan dari siapapun bahkan dari pemerintah.
Hendaknya habitus marharoan bolon ini semakin lama semakin merasuk ke dalam sanubari orang-orang yang mendiami tanoh Simalungun, supaya setiap program pembangunan yang dijalankan pemerintah langsung disambut secara antusias oleh warga Simalungun. Sebab tanpa kerjasama yang demikian, maka program pemerintah yang bagaimanapun bagusnya akan terkendala tanpa adanya penerimaan yang baik dari warganya. Penulis berharap agar sinergitas antara pemerintah Kabupaten Simalungun dengan seluruh komponen warganya tetap terjalin dengan baik dan erat, agar Kabupaten Simalungun semakin maju dan diperhitungkan di wilayah nusantara.
Sekali lagi kami paparkan, bagaimana nilai-nilai kehidupan dalam habitus marharon bolon perlu dipelihara dan dilestarikan, agar masyarakat Simalungun semakin sejahtera baik secara ekonomi maupun rohani. Adapun nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (simadanews-sudut pandang, 6/5/2021): Pertama, kebersamaan. Penulis yakin bahwa sangat sedikit orang di dunia ini yang tidak suka kebersamaan. Kebersamaan mampu menghalau keterbelakangan, kekurangtahuan, dan kepicikan. Kebersamaan dalam satu rasa (ahab) menghadapi suasana keprihatinan.
Setiap orang mesti menyadari bahwa dalam situasi yang kurang beruntung perlu bergandeng tangan menghadapinya. Kedua, solidaritas. Solidaritas mampu membangkitkan semangat dan ketidakberdayaan. Diteguhkan oleh semangat: “Berat sama dipikul, ringan sama dijingjing”. Ada kesamaan semangat untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, sehingga secara bersama-sama mencari solusi pemecahan masalah. Ketiga, empati. Zaman ini sangat dipengaruhi oleh sifat individualis, sehingga enggan untuk memberi perhatian kepada orang lain khususnya yang sedang tertimpa kesulitan.
Orang yang berempati bisa merasakan apa yang sedang dialami dan dirasakan oleh orang lain, marsiahaban, mangahab bei. Ikut merasakan apa yang sedang dialami sesama dan bersedia untuk mengatasinya. Keempat, budaya bergiliran. Menunggu kesempatan dan giliran bukan perkara mudah bagi setiap orang, sebab setiap orang ingin diutamakan dan didahulukan. Menerima dan menunggu kesempatan sesuai dengan kesepakatan awal. Budaya bergiliran hendaknya menjadi semangat baru dalam semangat marharoan bolon di tanoh Simalungun, agar setiap orang merasa diakui sebagai warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
@Peunlis, alumnus Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, Medan dan bekerja di Kantor Kementerian Agama Kota Tanjungbalai-Sumatera Utara.