BANYAKNYA kasus korupsi mencuat. Bukan hanya melibatkan birokrasi di pemerintahan, tapi juga melibatkan kalangan legislatif. Untuk menghindari terjadinya praktik korupsi semakin meluas, dibutuhkan transparansi dalam penyusunan anggaran.
Menurut survei International Budget Partnership (IBP) Tahun 2012, Indonesia merupakan salah satu negara yang transparansi anggarannya meningkat. Tetapi, partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran masih tergolong lemah.
Buktinya, masih banyak anggaran ditutupi oleh pemerintah sehingga tidak diketahui masyarakat. Dan legislatif sebagai wujud perwakilan masyarakat pun, belum maksimal melakukan fungsi, mulai dari penyusunan hingga pengawasan pelaksanaan keuangan Negara.
Bukannya melakukan pengawasan maksimal. Oknum-oknum di legislatif malah terlibat dalam pusaran ketertutupan pengelolaan anggaran.
Keuangan Negara, bertujuan untuk melakukan pembiayaan penyelenggaraan Negara dan pembangunan. Sehingga keuangan Negara harusnya dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Permasalahan
Berbagai permasalahan terjadi dalan keuangan negara, diawali dari timbulnya masalah dimulai dari proses penyusunan keuangan negara.
Banyak permasalahan, salah satunya ruang fiskal keuangan Negara masih berkutat pada komposisi belanja negara didominasi belanja non diskresi yang bersifat wajib.
Belanja non diskresi bersifat wajib adalah belanja pegawai, pembayaran utang dan subsidi. Sementara dana belanja tidak wajib (diskresi), di antaranya belanja modal untuk pembangunan infrastruktur dan pembiayaan sangat terbatas.
APBN terbebani Mandatory Spending atau belanja pengeluaran yang sudah diatur undang-undang yang semakin membesar, seperti anggaran pendidikan, dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal, penyerapan anggaran belanja negara masih belum optimal.
Proses penganggaran belum didasarkan pada suatu hasil monitoring dan evaluasi yang masak dari pelaksanaan kegiatan dan anggaran. Bahkan, sering terjadu tumpang tindih anggaran.
Penetapan skala prioritas dalam penyusunan keuangan Negara, juga menjadi permasalahan. Sebab, prioritas bagi penyelengara negara belum tentu prioritas bagi masyarakat, begitu juga sebaliknya. Apalagi, implementasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan keuangan Negara, belum maksimal diterapkan meskipun ada legislatif sebagai perwakilan masyarakat.
Itu terjadi, karena legislatif dalam keterlibatannya menjalankan hak budjet (hak penyunan anggaran), lebih banyak membuat usulan bagi kepentingan pribadi dan kelompok menggunakan alasan kepentingan rakyat.
Contoh, “Dana Aspirasi Rakyat” atau mata anggaran Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Untuk merealisasikannya, dana aspirasi ini sudah bernuansa manipulatif dan tidak bermanfaat bagi masyarakat secara umum. Sebab, saat kegiatan itu terlaksana kerap hanya orang-orang yang berpihak kepada anggota legislatif yang dilibatkan yang belum tentu perwakilan dari kebutuhan secara umum yang diinginkan masyarakat.
Rendahnya kualifikasi wawasan dan kemampuan anggota legislative, akan banyak undang-undang berpotensi merugikan. Banyak anggota legislative yang merupakan usungan dari parpol terpilih sebagai yang mewakili partai bukan perwakilan masyarakat. Selain itu, kemampuan intelektual wawasan, sangat rendah dalam memahami berbagai ketentuan penyusunan keuangan Negara.
Kemudian, dalam penyusunan keuangan Negara masih kurang transfaran karena masih ada loby-loby politik yang kerap hanya mengutaman kepentingan politik tertentu.