INDONESIA kini berada dalam tragedi. Belum selesai Covid 19, kini di Sumatera Utara, Gunung Sinabung kembali mengamuk. Tragedi membawa negri ini pada situasi frustasi, tidak hanya di tingkat individual, tetapi juga di level sosial.
Di dalam kaca mata Zizek, seorang filsuf kontemporer ternama sekarang ini, tragedi itu adalah the real, yakni situasi yang tak terkatakan, yang melepaskan kita dari jaring-jaring rutinitas yang menghanyutkan.
Dalam arti ini setiap orang mengalami tragedi dalam keseharian hidupnya. The real mengajak kita memikirkan ulang, kemana kita akan menuju, dan apa yang harus kita lakukan. Panggilan the real adalah panggilan The Big Other kepada kita untuk mengkaji hidup kita lebih dalam.
Manusia tak berdaya di hadapannya. Manusia hanya bisa menerima dengan lapang dada, sambil berusaha yang terbaik untuk mengurangi dampak kerusakan.
Pada titik ini covid 19 dan erupsi sinabung adalah momen untuk menyadarkan manusia akan keberadaannya di alam ini. Manusia tidak sendiri maka ia tidak bisa seenaknya. Manusia perlu melepas arogansi, bahwa ia adalah mahluk paling mulia. Cara berpikir narsistik semacam itu perlu dilepas, jika kita mau hidup secara harmonis dengan entitas lain di dalam kosmos.
Covid dan Sinabung mengajarkan pada kita, bahwa kita tak lebih dari setitik debu di dalam keluasan dan keagungan kosmos yang ada.
Arogansi dan sikap narsis di hadapan alam tak lebih dari salah satu kebodohan manusia yang perlu ditinggalkan. Paradigma antroposentrik yang menempatkan manusia sebagai pusat teragung realitas di dalam agama, filsafat, maupun sains adalah paradigma kuno yang sudah tidak lagi pas dengan situasi kita sekarang.
Karena itu, luka serta kerusakan yang lahir dari pandemi covid dan erupsi Sinabung tersebut jauh melampaui apa yang bisa dikatakan. Semua itu adalah the real yang memutus bangsa kita dari rantai rutinitas dan normalitas yang membuat terlena.
The real mengajak kita untuk memikirkan, mempertanyakan, dan merumuskan ulang apa artinya menjadi bangsa.
Panggilan the real tidak bisa ditolak, sama seperti manusia tidak bisa lari dari tragedi. Di hadapan tragedi raksasa, kita hanya bisa menangis, karena menangis adalah salah satu hal yang membuat kita menjadi manusia. Menangis adalah the real itu sendiri. Maka biarlah saat ini saya menangis sepuasnya, hingga pulihlah negriku, sebelum ulangtahunmu. (*)
Penulis: Pdt. Erwin AR Saragih, Pendeta GKPS Haranggaol

Discussion about this post