PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor : 97/PUU-XI/2013 bukan termasuk dalam rezim pemilihan umum. Sehingga diperlukan adanya pengadilan khusus yang diberi kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.
Salah satu usulan kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada dapat diberikan pada pengadilan tinggi tata usaha negara di bawah Mahkamah Agung baik dengan mekanisme pengadilan Ad Hoc maupun Majelis Khusus Tata Usaha Pemilu yang sudah ada melalui Undang-undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ada juga usulan lain untuk memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menjadi lembaga yang mengadili sengketa hasil pilkada menjadi memungkinkan dengan peran Bawaslu sebagai lembaga Quasi Judicial. Sehingga dapat dikembangkan menjadi Election Court dalam perkembangan penanganan sengketa pilkada maupun pemilu di masa depan.
Gagasan lain juga dengan menformat ulang dan mendefinisikan kembali Pilkada sebagai Pilkada Serentak Nasional yang dilaksanakan lima tahun sekali secara serentak di seluruh Indonesia. Hal ini diharapkan akan memberikan pemaknaan bahwasanya Pilkada Serentak Nasional adalah ajang demokrasi (local) nasional yang dapat masuk dalam rezim pemilihan umum.
Oleh karenanya, guna memperoleh sistem demokrasi pada penyelenggaraan pilkada yang efektif dan berkeadilan dalam penegakan hukum, perlu segera dibahas dan diputus perihal pengadilan apa yang secara khusus menangani perselisihan hasil Pilkada dalam bentuk sebuah badan peradilan yang diatur dalam undang-undang.
Hal ini disebabkan perlu adanya penyesuaian dan proses persiapan dalam menangani perselisihan Pilkada yang tidak mudah. Sehingga nantinya pada pengadilan khusus Pilkada ini akan siap digunakan pada Pilkada Serentak Nasional dikemudian hari pada November 2024. (*)
Penulis adalah Ketua KNPI Kabupaten Simalungun