Inspirasi 35 hari
DALAM salah satu acara perpisahan bersama Mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang ikut dalam Badan Kerjasama 33 Perguruan Tinggi Negeri di Seluruh Indonesia untuk masyarakat Sumalungun, khusus di Kecamatan Haranggaol.
Seluruh berkata, bahwa kehadiran mereka (mahasiswa) sangat disambut baik melalui keramatamahan bahkan jamuan dari seluruh orangtua di Haranggaol, tanpa membedakan agama, suku dan budaya.
Seluruh alur pembicaraan akhirnya memberikan ide bagi saya, bahwa tanpa disadari selama 35 hari kebersamaan warga Haranggaol bersama seluruh mahasiswa, memberikan pesan, bahwa sudah saatnya generasi milenial sadar bahwa mereka adalah generasi hibrida (bercampur aduk).
Latar belakang datang dari beragam agama, suku dan ras. Inilah slogan kemerdekaan yang ditawarkan Jokowi dyang ke 74, yaitu “Menembus Tanpa Batas”.
Kelupaan Akan Ada
Jika hibrida adalah ciri dari segalanya, mengapa masih ada orang yang takut akan keberagaman? Mengapa masih ada kelompok yang menghendaki keseragaman mutlak atas dasar agama ataupun ideologi tertentu? Disini, kiranya kita bisa belajar dari Heidegger.
Alasan dari ini semua adalah kelupaan akan ada (Seinsvergessenheit), yakni kelupaan akan hibrida.
Ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, kelupaan akan ada terjadi, karena ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Artinya, orang berpikir secara terbatas, yakni hanya untuk memanfaatkan apa yang ada.
Berpikir, dalam arti sebenarnya, adalah memahami dengan menyatu dengan apa yang sedang dipikirkan. Ia adalah sebuah tindakan melebur, dan bukan hanya mencari manfaat semata.
Dua, ketidakberpikiran ini lalu menjadi kebiasaan, dan membudaya. Orang melupakan asal muasal dan hakekatnya sendiri, serta menjadi buta oleh keseragaman. Orang melupakan ciri hibrida dari segala yang ada. Ini juga berarti, orang melupakan kehidupan itu sendiri.
Tiga, sayangnya, keseragaman kini menjadi kecanduan. Di banyak tempat di dunia, kita menyaksikan gerakan yang ingin menyeragamkan masyarakat.
Ini jelas bertentangan dengan ciri dasar dari alam dan kehidupan itu sendiri. Yang terjadi kemudian adalah konflik dan penderitaan yang berkelanjutan.
Bagaimana kita bisa keluar dari tiga hal ini? Jawabannya bisa diperoleh dengan melihat kenyataan sebagaimana adanya. Artinya, kita bangun dari konsep-konsep dan ilusi yang bercokol di kepala, dan melihat kenyataan sebagaimana adanya disini dan saat ini, dengan segala kompleksitasnya.
Ciri hibrida akan jelas tampak, beserta dengan kejernihan yang menjadi latar belakangnya.Jadi, tunggu apa lagi? Tebarlah sejuta senyum wahai Haranggaol Hibrida. (*)
Penulis: Pdt Erwin Ar. Saragih MTh, pendeta GKPS bertugas di Kecamatan Harangaol.

Discussion about this post