Oleh | INGOT SIMANGUNSONG
9 JANUARI 2021, Indonesia kembali berkabung. Pesawat Sriwijaya jenis Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJ182 hilang kontak dan dinyatakan jatuh di perairan Kepulauan Seribu.
Di dalam pesawat yang ternyata sudah berusia 26 tahun itu, tercatat manifes 50 penumpang, dengan rincian 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi serta 12 kru, dengan flight Jakarta-Pontianak (Kalimantan Barat).
Ini catatan pahit bagi rute penerbangan di negeri ini, yang terjadi di awal tahun baru, 2021. Bandara Supadio, Pontianak (Kalimantan Barat) pun, didatangi sanak keluarga yang terdapat dalam manifes. Mereka ingin mendapatkan kepastian terkait musibah tersebut.
Turut berkabung dan berduka bagi para keluarga yang sanak-saudaranya terdapat dalam manifes jatuhnya Sriwijaya.
MENAMBAH DAFTAR PANJANG
Jatuhnya pesawat Sriwijaya, semakin menambah daftar panjang pesawat yang jatuh.
Di 26 September 1997, pesawat Garuda Indonesia penerbangan GA152 jatuh di Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sekitar 32 km dari Bandara Polonia dan 45 km dari kota Medan saat hendak mendarat di Bandara Polonia. GA 152 adalah sebuah pesawat Airbus A300-B4.
Kecelakaan ini menewaskan 234 orang dengan rincian 222 penumpang dan 12 awak. Hingga kini peristiwa itu merupakan kecelakaan pesawat terburuk dalam sejarah Indonesia. Saat kecelakaan terjadi, kota Medan sedang diselimuti kabut asap tebal akibat pembakaran hutan.
Masih di tahun 1997, tidak berapa lama waktu jatuh pesawat Garuda Indonesia, menyusul SilkAir 1997 penerbangan 185 juga mengalami kecelakaan. SilkAir 185 adalah layanan penerbangan komersial rutin maskapai penerbangan SilkAir dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia ke Bandara Changi, Singapura.
Pada 19 Desember 1997, sekitar pukul 16:13 WIB, pesawat Boeing 737-300 yang melayani rute Jakatta Singapura itu mengalami kecelakaan jatuh di atas Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan. Ada 104 orang di dalamnya dengan rincian 97 penumpang dan 7 awak kabin tewas, termasuk pilot Tsu Way Ming dari Singapura dan kopilot Duncan Ward dari Selandia Baru.
Kemudian, 5 September 2005, Mandala Airlines Penerbangan RI 091 merupakan sebuah pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines yang jatuh di kawasan Padang Bulan, Medan. Kecelakaan ini terjadi saat pesawat sedang lepas landas dari Bandara Polonia Medan.
Pesawat tersebut menerbangi jurusan Medan-Jakarta dan mengangkut 117 orang (112 penumpang dan 5 awak). Penumpang yang tewas berjumlah 100 orang dan 49 orang di darat turut menjadi korban. Sedikitnya 17 Penumpang di laporkan selamat.
Pada 1 Januari 2007, sebuah penerbangan domestik terjadwal Adam Air dengan Nomor penerbangan 574 jurusan Jakarta-Surabaya-Manado, hilang dalam penerbangan setelah transit di Surabaya.
Delapan bulan kemudian atau pada Agustus 2007, Pesawat diduga jatuh di Perairan Majene, Sulawesi Barat. Dugaan ini berdasarkan penemuan kotak hitam di Perairan Majene pada 27 Agustus 2007 di kedalaman 2.000 meter.
Kecelakaan ini menewaskan seluruh orang di dalamnya yang berjumlah 102 orang dengan rincian 96 penumpang dan 6 awak. Peristiwa ini merupakan angka kematian tertinggi dari setiap kecelakaan penerbangan yang melibatkan pesawat Boeing 737-400.
Jasad seluruh penumpang dan bangkai pesawat tetap terkubur di dasar laut.
Pada 25 Maret 2008, penyebab kecelakaan seperti yang diumumkan oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah cuaca buruk, kerusakan pada alat bantu sistem navigasi inersia (IRS), dan kegagalan kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat. Kecelakaan ini menjadi kecelakaan terburuk pertama Adam Air dalam kurun waktu 3 tahun sejarah perusahaan.
Pada 28 Desember 2014, Indoneisa Air Asia Penerbangan 8501 sering disebut dengan Tragedi AirAsia QZ8501 adalah pesawat Airbus A320 milik Indonesia AirAsia (grup AirAsia) yang dinyatakan hilang kontak di sekitar Laut Jawa dekat Selat Karimata pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura.
Sedikitnya ada 155 penumpang dan 7 orang kru di dalam pesawat.
Pada 30 Desember 2014, puing-puing pesawat ini telah ditemukan mengapung di Laut Jawa. Tubuh manusia juga ditemukan bersamaan dengan penemuan puing pesawat yang berjumlah 162 orang dinyatakan tewas.
Pada 29 Oktober 2018, Pesawat Lion Air dengan nomor penenerbangan JT 610 lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pukul 06.20 WIB. Namun, setelah 13 menit mengudara, pesawat hilang kontak dan tak bisa dihubungi hingga akhirnya dinyatakan jatuh.
Pesawat dengan tujuan Pangkal Pinang itu jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat juga mengangkut 181 penumpang dan semuanya dinyatakan tewas. Pesawat Lion Air dengan nomor JT 610 ini merupakan keluaran terbaru dari tipe Boeing 737 MAX 8. Pesawat ini sendiri pertama kali diperkenalkan ke publik pada 2017.
TRANPARANSI DAN WASKAT
Flightradar24,com – seperti yang dilansir cnnindonesia.com – juga menjelaskan, pesawat Sriwijaya jenis Boeing 737-500 merupakan pesawat dengan kapasitas penumpang maksimal 122 orang. Model ini menggunakan mesin CFM56-3B1 dengan propulsi dua turbofan.
Kecepatan maksimal pesawat dengan lebar sayap 28,88 m ini 946 km per jam. Panjang keseluruhan 31,01 meter dan tinggi 11,07 meter.
Boeing 737-500 SJ182 pertama kali mengudara pada Mei 1994. Itu berarti saat ini usia pesawat sudah 26 tahun.
Menyikapi usia pesawat yang sudah 26 tahun tersebut, setidaknya ada hikmah yang harus sama-sama dijadikan pelajaran bagi semua pihak yang terkait dengan tanggungjawab penerbangan, yakni maskapai, dan Kementerian Perhubungan.
Sikap itu, terkait dengan transparansi dan pengawasan melekat (waskat). Transparansi itu berkaitan dengan keterbukaan pihak maskapai dalam menginformasi kondisi pesawat yang mereka miliki, terutama di masalah usia pesawat.
Kemudian, Kementerian Perhubungan, menjadi penting menguatkan fungsi pengawasan melekat terhadap kondisi keseluruhan pesawat yang dimiliki setiap maskapai yang ada di negeri ini.
Untuk mengantisipasi tidak terjadinya kecelakaan lain – terkait usia pesawat – Kementerian Perhubungan diharapkan melakukan tagihan laporan transparan kondisi pesawat yang dimiliki para pengusaha (maskapai). Hal ini menjadi sangat penting, untuk mengurangi jumlah kecelakaan pesawat.
Tidak hanya itu, pengawasan melekat dan transparansi tersebut, juga sebagai bentuk kepedulian para pemilik maskapai terhadap keamanan dan kenyamanan penumpang dari lepas landas dan mendarat di tujuan.
Semoga!
(Penulis, jurnalis SimadaNews.com)