MESKIPUN telah menetapkan batas penghentian pembangunan tugu Raja Sangnawaluh di areal lapangan H.Adam Malik dengan pertimbangan “Bencana Sosial”, namun legalitas penetapan yang dibacakan Sekretaris Daerah, Budi Utari, masih menyisakan persoalan dan selalu terbuka ruang untuk diperdebatkan. Dengan syarat-syarat manakah tindakan penghentian pembangunan tersebut dapat dibenarkan ?
Dalam surat perjanjian kerja konstruksi antara Pejabat Penandatanganan Kontrak (PPK) dengan CV. AKU (pekerja proyek), pada pasal 37 ayat (1) dikatakan “suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”.
Bagi saya, penafsiran pasal 37 ayat (1) layaknya ‘paranormal’ dengan kekuatan ilmu terawang sangat mengkhawatirkan, karena dalil bencana sosial yang diucapkan muncul tiba-tiba tanpa ada penjelasan sebelumya. Pemko Siantar disinyalir telah menduga -duga akan terjadi musibah apabila pembangunan itu tetap dilanjutkan.
Logika setiap orang yang mengetahui kronologi rencana awal pembangunan tersebut akan berkata, “Pak Wali, sudahilah kekeliruan itu”. Sulit membayangkan tragedi itu diluar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Misalnya, “kalau seseorang pejabat publik berbohong, kan tidak mungkin orang-orang akan diam saja. Pasti yang muncul adalah protes!”.
Memang, bila seorang pemimpin yang inkonsisten, bergaya sesuka hati dan juga kerap berada di luar kota, niscaya gejolak akan selalu ada.
Apabila saya menyikapi rasa ‘takut’ pemko Siantar dari perspektif Undang-Undang, maka jelas ada kekeliruan yang apakah disengaja atau tidak, terkait status persoalan dengan dalil bencana sosial.
Undang-undang No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pasal 1 angka (4) dikatakan bencana sosial adalah “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Terhadap diksi-diksi yang mendefenisikan bencana sosial, saya akan menguraikan sebagai berikut ;
- “Peristiwa atau serangkaian peristiwa” adalah kejadian (perkara) yang benar-benar terjadi dan menarik perhatian orang banyak, baik hanya sekali terjadi maupun berturut-turut.
- “Manusia” adalah orang perseorangan yang diikat oleh status warga negara Indonesia atau warga negara asing, baik secara individu maupun golongan.
- “Konflik sosial” adalah situasi percekcokan atau perselisihan berkenaan antara manusia yang satu dan manusia lainnya.
- “Teror” adalah usaha menciptakan ketakutan dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Setelah menganalisa uraian pasal 1 angka (4) UU No 24 Tahun 2007, kata kunci bencana sosial adalah : peristiwa atau serangkaian peristiwa, manusia, konflik sosial, dan teror. Lebih ringkas dan padat, saya mendefenisikan bencana sosial adalah “percekcokan antar kelompok manusia dan membahayakan masyarakat.
Mari kita uji pernyataan publik pemko Siantar lewat kajian bencana sosial yang saya defenisikan. Pertanyaannya, bila pembangunan tugu Raja Sangnawaluh berpotensi menjadi bencana sosial, maka ;
- Kelompok apa dan kelompok siapa yang akan cekco atau bentrok ?
- Dampak apa yang akan membahayakan masyarakat Siantar ?
Tentu pertanyaan itu akan ditujukan kepada Wali Kota Siantar, Hefriansyah Noor, karena Perpres No 17 Tahun 2018 Tentang Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu, pasal 2 ayat (1) berbunyi “penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai tingkat bencana”.