LAZIMNYA ketika kita hendak berkunjung kesuatu tempat kita akan melihat perbedaan disana dan untuk itulah kita datang sebenarnya karena perbedaan yang tidak kita temukan dari asal kita.
Kalau sama buat apa toh harus jauh-jauh datang ketempat tersebut. Bagaimanapun memang, baiknya si tamu harus menyesuasikan diri dan beradaptasi dengan si tuan rumah. Sebagaimana yang dilontarkan oleh aktivis literasi dan lingkungan abangda Togu Simorangkir.
Dewasa ini jagat media sosial maupun daerah kawasan seareal danau Toba digemparkan dengan wacana akan diberlakukaannya wisata Halal di danau toba.
Wacana ini banyak menuai kontra dan kontroversi maupun tidak sedikit yang malah mendukungnya. Banyak dari kepala daerah dengan tegas menolak wacana tersebut dengan berbagai dasar dan pertimbangan untuk tidak menerapkan wisata halal didanau Toba.
Begitu juga dengan para akademisi, tokoh masyarakat, adat, pemuda mengecam akan adanya hal tersebut bahkan berencana akan membuat kegiatan salah satu makanan khas Toba tersebut dibuat didalam suatu festival.
Disisi lain muncul petisi untuk menolak wacana tersebut hingga aksi demonstraksi menuntut agar wacana tersebut tidak direalisasikan sebagai wujud penolakan dari masyarakat.
Lalu apa urgensi dari wisata halal di danau Toba ? Bahkan hal ini membuat dan menimbulkan berbagai kekhawatiran akan menghilangkan kearifan lokal, jati diri batak, dan distegrasi budaya.
Danau Toba merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara yang tidak bisa dipungkiri banyak menarik wisatawan dari dalam negeri hingga mancanegara, bahkan danau Toba lebih dikenal dari daerah-daerah letak danau Toba berada.
Seturut dengan program mewujudkan danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) maka danau Toba harus terbuka dengan siapa saja ditambah lagi dengan kondisi dunia yang semakin kecil dengan batas-batas wilayah dan waktu tidak lagi menjadi sekat penghalang sehingga kemudian yang terjadi adalah tidak ada lagi perlindungan yang ketat terhadap pengaruh dari luar yang masuk kedalam negeri. Ditambah lagi dengan akses yang semakin memudahkan siapa saja dari belahan bumi yang berbeda datang ke danau Toba.
Hal ini yang kemudian ditakutkan membuat kita kehilangan identitas budaya yang menyebabkan masyarakat mengalami “chaos cultural” kalau sudah sampai seperti ini maka dibutuhkan yang waktu untuk bisa kembali pulih seperti sediakalah karena memperbaiki tatanan yang sudah lama dibangun semenjak nenek moyang dahulu.
Karena hal tersebut pulalah dikhawatirkan muncul “shock culture” yang memudahkan budaya luar masuk kedalam karena tidak ada lagi filter dari dalam dengan budaya lokal yang ada. Hal itu yang harusnya sedari dulu kita antisipasi bersama bukan malah menambah budaya yang baru baru apalagi dengan terminologi halal. Jadi selama ini wisata di danau Toba? (Pembaca sendiri yang menyimpulkan).
Apalagi dengan kondisi yang kian hari dengan pelbagai dinamika didalam kehidupan bermasyarakat mudah tersulut amarah.

Discussion about this post