Ada beberapa hal yang menggelitik logika sehat saya terkait berhentinya pembangunan ‘monumen Raja Siantar’ dengan alasan bencana sosial. Hal itu saya anggap pembohongan publik.
Bohong pertama, apabila mengumumkan potensi bencana sosial tanpa didahului kajian dan analisa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah kesalahan fatal dan punya konsekuensi hukum . Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No 24 Tahun 2007, dibunyikan : “Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 membentuk BPDB”.
Salah satu tugasnya adalah pencegahan bencana sosial melalui serangkaian kegiatan sebagai upaya menghilangkan dan mengurangi bencana sosial. Dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana sosial, BPBD harus memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan.
Ironisnya, mayoritas publik seakan tidak pernah membaca atau mendengar kajian dan analisa BPBD Siantar perihal potensi bencana sosial setelah muncul gerakan penolakan dari sekelompok masyarakat.
Bohong kedua, jika memaknai aksi demo yang jelas-jelas legal menurut konstitusi, sebagai gerakan yang berpotensi menjadi bencana sosial dan membahayakan publik. Mungkin pimpinan pemko Siantar perlu mendapat pendidikan sosial politik agar paham bahwa rakyat adalah hakim bagi demokrasi.
Apakah aksi demo dirancang untuk melakukan chaos ? Apakah setiap penolakan kebijakan penguasa dianggap berbahaya ? Apakah hasil survei Setara Institute yang mengatakan Siantar urutan ke-3 dalam hal toleransi adalah hoax ? Kenapa pemko Siantar seperti alergi dengan gerakan massa dan menyimpulkan aksi demo akan menimbulkan bencana sosial ?
Memang di sisi lain, sangat disayangkan bahwa aksi demo berlabel agama yang mengakui lapangan H. Adam Malik berfungsi sebagai fasilitas umum, tetapi membawa dalil komunal (kelompok) untuk menolak kebijakan pemko Siantar. Bagi saya, menggabungkan premis publik dan premis sektarian adalah argumentasi kontraproduktif karena resultante nya kosong.
Dalam pandangan saya, bahwa alasan bencana sosial adalah bukti ketidak perdulian Wali Kota terhadap kondisi sosial di Kota Siantar. Dan itu jelas-jelas membuat legitimasi kepala daerah ‘Drop’ di mata masyarakat. (*)